Yuki menyeruput Moccacinonya. Ia memandang lekat pada keempat sahabatnya. Max berdehem kecil. Lalu memandang lekat ke arah Chika dan Nina secara bergantian. Yuki masih menatap mereka. Ada keseriusan diwajah mereka masing-masing.
"Stefan ngga bilang sama lo," tanya Nina sambil menyeruput jus alpukat yang ada didepannya.
"Soal apa?" tanya Yuki balik.
"Soal perasaan dia ke elo," jawab Gio cepat. Yuki menaikkan sebelah alisnya. Tidak mengerti.
"Stefan suka sama lo. Dia bilang akan ngasih tahu lo sebelum berangkat," ujar Max. Yuki menggeleng pelan.
"Dia cuma bilang kalo dia dapet beasiswa. Gue ngga tahu soal perasaan dia." ujar Yuki pelan. Chika menghela napas pelan.
"Stefan bodoh. Gue pikir dia udah ungkapin perasaannya sama lo. Jadi dia pergi gitu aja," ujar Chika tidak percaya.
Yuki syok. Ia tidak menyangka kalau Stefan punya perasaan lain padanya. Selama ini mereka bersahabat dari kecil hingga sekarang. Tapi, tidak sedikit pun Stefan menunjukkan kalau ia menyukai dirinya. Yuki menarik napas pelan. Menatap keluar jendela. Ia mengingat kenangannya bersama Stefan. Yuki tersenyum kecil. Ia ingat bagaimana Stefan kecil selalu membelanya saat ia dimarahi oleh guru karena kenakalannya. Yuki juga ingat bagaimana Stefan menjadi tameng saat ada tawuran dijalanan. Waktu itu Stefan berusaha melindungi Yuki, sampai akhirnya Stefan masuk rumah sakit karena terkena pukulan keras dipunggungnya. Mata Yuki mulai berembun. Terakhir kali, Stefan berjalan kaki dengan penuh luka ke sekolah. Dan ia juga tidak lupa menjemput Yuki. Tapi, gadis itu malah berangkat lebih dulu bersama orang lain. Setetes embun dari mata Yuki mulai mengalir ke pipinya.
"Bodoh," lirih Yuki. Ia mengusap pipinya. Lalu tersenyum kecil.
"Tapi gue udah punya Al. Soal perasaan Stefan..." Yuki menggantung kalimatnya.
"Gue akan... mengingatnya dengan baik." ujar Yuki kemudian. Gio menatap Yuki tidak percaya. Ia terkekeh geli mendengar jawaban Yuki.
"Mengingatnya? Hanya itu?" tanya Gio.
"Lo ngga berniat balas perasaannya?" tanya Gio lagi. Yuki hanya diam.
"Dia sahabat gue. Dan akan tetap selalu begitu," ujar Yuki kemudian. Gio menatap Yuki sinis. Ia tidak menyangka Yuki akan berkata seperti itu. Gio tidak tahan lagi, ia pun beranjak dari duduknya lalu melengos pergi.
"Yuki," lirih Chika. Nina memandang lekat ke arah Yuki.
"Gue sahabat Stefan. Gue tahu gimana perasaannya. Tapi lo... Kayaknya gue harus bilang ke Stefan kalo dia ngga usah berharap lebih," ujar Max seraya berlalu pergi. Yuki diam. Ia tidak menghiraukan kemarahan sahabat-sahabatnya. Tanpa berkata-kata, Chika pun beranjak dari duduknya lalu pergi. Tinggal Nina sendiri. Ia masih duduk didepan Yuki.
"Kenapa lo ngga ikutan pergi?" tanya Yuki pelan.
"Gue masih nunggu penjelasan lo selanjutnya," jawab Nina sambil tersenyum. Yuki menatap Nina lekat. Ia tahu, memang hanya Nina-lah yang selalu mengerti dirinya, selain Stefan.
"Perasaan itu sempat ada, sebelum akhirnya gue sadar kalo perasaan gue ini salah. Gue ngga mungkin menyukai sahabat gue sendiri. Gimana nantinya kalo gue putus, sedangkan gue ngga mau kehilangan Stefan. Lo tahu kan, Stefan udah seperti separuh hidup gue. Ngeliat dia terluka bikin hati gue sakit. Apalagi kalo kehilangan dia, gue ngga tahu gimana hidup gue tanpa dia," ujar Yuki panjang lebar. Nina tersenyum.
"Tapi kenyataannya, sekarang lo udah nyakitin dia, dengan lo memilih Al." ujar Nina. Yuki tercekat. Sakit memang. Tapi Yuki tidak bisa membiarkan hatinya terluka terlalu dalam karena perasaannya sendiri. Kehadiran Al menjadi obat penenang yang ampuh saat ini. Lelaki itu sanggup membuat Yuki sedikit berpaling dari Stefan.
"Seandainya Stefan jujur sama lo sebelum ada Al, apa lo akan terima dia?" tanya Nina. Yuki terdiam sejenak. Lalu tersenyum.
"Yang pasti gue ngga akan ngebiarin dia pergi ke Jerman." jawab Yuki kemudian. Mereka berdua tertawa kecil. Nina tahu bagaimana kedua sahabatnya itu. Memiliki perasaan yang sama. Mereka memilih untuk tetap diam, supaya mereka tidak kehilangan dari salah satunya.
= * =
Stefan tiba di Jerman. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Gedung-gedung tinggi menjulang langit. Keindahan bangunan mewah dengan segala artistiknya yang mampu membuat mata berdecak kagum. Hilir-mudik orang-orang dengan kendaraannya masing-masing. Stefan mengencangkan tas ransel dipunggungnya. Ia mengeluarkan secarik kertas yang berisi tulisan alamat tempat yang akan ia tuju. Stefan memberhentikan sebuah taksi lalu memberikan kertas tersebut pada supir taksi.
"I know, Sir." ucap supir taksi. Stefan tersenyum lalu ia memasukkan tasnya ke dalam taksi. Entah mimpi apa dia semalam, taksi itu tiba-tiba meluncur begitu saja. Taksi itu membawa tas Stefan kabur.
"Stooopp!!" teriak Stefan sambil berlari mengejar taksi. Stefan terus berlari, ia tidak peduli dengan orang-orang yang ditabraknya. Ia harus terpaksa berhenti berlari saat mendengar rintihan seorang gadis yang tidak sengaja ia tabrak.
"Aww..." rintih gadis itu sambil membersihkan lututnya yang berdarah.
"I'm sorry, miss." ujar Stefan.
"Ngga pa-pa," ujar gadis itu. Stefan tercekat. Ia menatap gadis itu lekat.
"Anda orang Indonesia?" tanya Stefan. Gadis itu mendongakkan kepalanya, ia tersenyum tipis.
"Iya, saya dari Indonesia. Ehmm... Bisa bantu saya untuk berdiri?" ucap gadis itu seraya mengulurkan tangannya. Stefan memegang tangan gadis itu lalu membantunya untuk berdiri.
"Senang rasanya ada orang yang sama bahasanya dengan saya." ujar gadis itu lagi. Stefan hanya tersenyum kecil.
"Perkenalkan, saya Nasya..."
continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Destiny
RomanceSaat engkau mencintai seseorang, katakanlah... sebelum akhirnya ia pergi dan kau menyesal...