Yuki duduk di sebuah meja di sudut ruangan cafe. Ia menunggu kedatangan Al. Ia akan menanyakan perihal gadis yang bernama Ariel. Gadis yang mengaku sebagai calon istrinya. Sesekali Yuki melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah terlambat setengah jam dari waktu yang ditentukan, Al belum juga datang. Saat Yuki akan pergi, seseorang mendekatinya. Al, lelaki itu tersenyum manis pada Yuki.
"Maaf, aku telat. Jalanan macet banget," ujar Al seraya duduk di depan Yuki. Yuki menarik napas pelan sambil menatap Al lekat.
"Kamu kenal sama Ariel?" tanya Yuki langsung, tanpa basa-basi. Wajah Al langsung berubah pucat. Kaget.
"Ehm... Ariel? Kayaknya aku..."
"Kemarin dia dateng ke cafe Gio." potong Yuki. Al semakin terkejut. Raut wajahnya terlihat sangat khawatir. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Aku mau kamu jujur, Al." ujar Yuki pelan sambil menatap Al lekat. Al hanya diam. Ia menunduk dalam. Hening. Tidak ada jawaban dari Al. Padahal Yuki menunggu penjelasan dari Al atas perkataan gadis kemarin.
"Diamnya kamu, aku anggap iya atas pengakuan Ariel kemarin," ujar Yuki kemudian. Al menatap Yuki lekat. Yuki sedikit terkejut. Karena ia melihat ada raut penyesalan yang tergambar jelas di wajah Al. Untung Yuki sudah mempersiapkan hal terburuk yang akan terjadi setelah pertemuannya ini.
"Yuki, maafin aku. Aku ngga bermaksud bohongin kamu. Aku hanya..."
"Cukup." potong Yuki cepat. Ia mengambil kotak kecil berwarna hitam dari dalam tasnya. Lalu meletakkannya di atas meja.
"Semuanya selesai. Terima kasih untuk segalanya." ujar Yuki seraya berdiri dan pergi meninggalkan Al yang masih duduk sambil memandangi kotak hitam kecil. Al mengambilnya, lalu mengeluarkan isinya. Sebuah cincin berlian. Ia tahu pasti saat ini Yuki sudah tahu kenyataan yang sebenarnya. Ia adalah tunangan dari seorang gadis yang bernama Ariel. Rencananya minggu depan mereka akan menikah. Hari dimana ia dan Yuki akan melangsungkan pertunangan.
= * =
Stefan masuk ke kamarnya. Lalu merebahkan tubuhnya ke ranjang. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan lekat. Kemudian ia melirik ke arah laci yang ada didekat ranjangnya. Sebuah bingkai foto bertengger disana. Foto dirinya bersama sahabat-sahabatnya. Lalu ia menatap lama pada satu objek difoto itu. Yuki. Gadis itu yang selalu dirindukan olehnya. Entah kenapa, saat ini ia sangat merindukan kehadiran Yuki. Ada perasaan aneh yang dirasakannya. Sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Sesuatu yang membuatnya tiba-tiba dilanda rasa khawatir yang teramat. Sesekali ia mengusap gambar wajah Yuki, lalu tersenyum.
"Aku kangen sama kamu, Ki." ujar Stefan pelan.
Ia terbiasa bicara sendiri kalau dirinya sedang merindukan Yuki. Karena selama berada di Jerman ia tidak bisa menghubungi Yuki maupun yang lainnya. Mereka kehilangan kontak. Ia sudah berusaha mencari ranselnya, tapi hasilnya nihil. Sedetik kemudian, ia mematikan lampu kamarnya dan terlelap dalam tidurnya. Begitulah aktifitasnya sehari-hari, kuliah, kerja, lalu pulang untuk beristirahat.
= * =
Suara keras dari house music memenuhi ruangan yang dihiasi lampu berwarna-warni. Terlihat beberapa muda-mudi berjoget-joget tidak jelas di lantai dasar. Beberapa ada yang memilih untuk menikmati musik sambil minum dan berbincang-bincang. Bahkan ada beberapa yang sedang bercumbu dipojokan yang remang. Berbeda dengan Yuki, ia lebih memilih duduk sendirian di bar untuk minum. Entah sudah berapa gelas ia menghabiskan minuman beralkohol. Yuki menunduk lama. Menangis dalam diam. Disini, ditempat yang full music, tidak akan ada orang yang tahu kalau ia sedang menangis. Meratapi hidupnya yang penuh dengan kebohongan.
"Kami sudah bercerai. Papa akan menikah lagi," ujar Papa Yuki beberapa hari yang lalu, tepatnya tiga hari setelah ia menerima kenyataan kalau Al sudah memiliki calon istri. Ia tidak habis pikir kenapa kenyataan pahit datang ke kehidupannya dalam waktu yang bersamaan. Belum hilang rasa sakit karena dikhianati kekasih, Yuki harus menerima kalau Papa dan Mamanya sudah bercerai. Ditambah lagi Papanya akan menikah dengan gadis yang lima tahun lebih tua diatasnya. Gadis itu lebih pantas menjadi kakaknya ketimbang ibu tirinya. Yuki semakin terisak dalam tangisnya. Tubuhnya bergetar. Begitu sakit yang ia rasakan hingga tubuhnya terasa begitu lelah.
"Stefan..." lirih Yuki dalam tangisnya.
Ia semakin larut dalam kesedihannya. Beberapa menit kemudian, ia kembali meneguk minumannya. Tidak ada yang berani melarangnya. Sudah beberapa hari ini ia menjadi pelanggan setia bar disana. Setelah dirasanya cukup minum, Yuki menempelkan kepalanya ke meja. Memejamkan mata. Meresapi setiap tetes alkohol yang masuk ke tubuhnya. Setetes bening mengalir disudut mata Yuki.
Di Jerman, Stefan tiba-tiba terbangun. Ia seolah-olah mendengar ada suara yang memanggil namanya. Ia pun menghidupkan lampu kamarnya. Matanya langsung tertuju pada bingkai foto. Gambar Yuki.
"Yuki..." lirih Stefan.
Seperti ada tali yang menyambung, Stefan merasa Yuki memanggil namanya. Namun ia pun tidak begitu yakin, mungkin ini hanya mimpi. Siapa yang tahu kalau Yuki memang memanggil nama Stefan dalam tangisnya. Gadis itu selalu menyebut nama Stefan. Ia berharap saat memanggil namanya, lelaki itu akan langsung datang padanya. Menenangkannya. Membantunya menghilangkan semua sakit yang dirasakannya. Stefan mengambil sebuah buku dari dalam lacinya. Ia membuka lembar demi lembar halaman buku itu. Lembaran itu penuh dengan wajah Yuki dengan berbagai macam ekspresi. Melihat itu membuatnya sedikit lebih tenang.
continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Destiny
RomanceSaat engkau mencintai seseorang, katakanlah... sebelum akhirnya ia pergi dan kau menyesal...