Yuki menggeliat pelan dibawah selimutnya. Perlahan ia membuka kedua matanya. Silau. Sinar matahari masuk ke kamarnya. Yuki mengerjapkan matanya. Mengumpulkan energi untuk bangunnya pagi ini. Ia mengedarkan pandangannya. Saat ini ia berada dikamarnya sendiri. Ia memegang kepalanya yang terasa pusing akibat pengaruh alkohol semalam. Ia diam sejenak. Berusaha mengingat kejadian semalam. Seseorang telah mengantarkannya pulang. Ia membuka memori otaknya. Sekilas wajah terlihat samar. Tapi ia tahu, orang yang mengantarnya pulang sampai di kamarnya sendiri adalah Gio. Yah, beberapa hari ini Gio selalu jadi penyelamat Yuki saat setelah ia mabuk dan tidak sadarkan diri. Yuki mengambil segelas air putih disamping tempat tidurnya, lalu meneguknya pelan. Ia mengacak pelan rambutnya sendiri.
Tok...Tok...Tok... Terdengar suara ketukan pintu dari luar."Siapa?" tanya Yuki dengan suara paraunya.
"Ini saya, non. Mbak Sarti," jawab Sarti. Yuki berjalan malas ke arah pintu, lalu membukanya.
"Ada apa?" tanya Yuki malas.
"Ada non Nina dan non Chika di bawah," ujar Sarti.
"Suruh aja mereka kesini," ujar Yuki seraya masuk kedalam.
Beberapa menit kemudian, Nina dan Chika masuk ke kamar Yuki. Mereka menatap Yuki lekat. Yuki hanya tersenyum kecil. Nina memberikan sebuah undangan pernikahan. Yuki menerimanya lalu melihat nama Al dan Ariel tertulis disana. Ia tersenyum tipis. Yuki melihat ke arah Nina dan Chika bergantian.
"Kita harus dandan yang cantik untuk pergi kesana," ujar Yuki.
"Lo yakin mau dateng," ujar Nina. Yuki mengangguk mantap.
"Lo ngga ada kelas hari ini, Ki." tanya Nina. Yuki berjalan menuju kamar mandi.
"Ntar siang baru ada kelas," jawab Yuki seraya masuk ke kamar mandi.
Terdengar suara air mengalir. Sepertinya Yuki sudah mulai mandi. 20 menit kemudian Yuki telah selesai mandi. Kemudian berpakaian lalu memoleskan sedikit bedak wajahnya. Tidak lupa sedikit lipstik berwarna pink muda ia poleskan dibibirnya.
"Gue mau ke tempat Gio. Pasti dia ngomel-ngomel lagi, hehe.." ujar Yuki sambil terkekeh geli. Satu jam kemudian, Yuki, Nina, dan Chika sudah tiba di cafe Gio. Dari kejauhan Yuki dapat melihat mata Gio menatapnya tajam. Yuki tersenyum geli melihat Gio.
"Thanks ya, my G. Gue pikir, gue akan nginap di bar,hihi..." ujar Yuki sambil tertawa kecil.
"Harusnya gue biarin aja lo disana," ujar Gio dingin. Terlihat jelas kalau lelaki itu sedang menahan kesalnya. Yuki hanya menanggapinya dengan senyuman. Yuki tahu kalau Gio sedang kesal padanya.
"Max kemana?" tanya Yuki.
"Kayaknya tuh anak belum datang," jawab Nina.
Suasana hening sejenak. Tak lama kemudian Gio sudah membawa 4 gelas Moccacino hangat. Mereka menikmati minum pagi ini. Tiba-tiba Max datang dengan tergesa-gesa. Napasnya terdengar ngos-ngosan. Mereka menatap Max bingung. Max mengambil Moccacino milik Nina, lalu meneguknya habis.
"Udah tenang?" tanya Nina. Max mengangguk pelan.
"Ini soal Stefan," ujar Max kemudian. Mereka terperangah kaget. Max tiba-tiba menyebut nama Stefan. Mereka selama setahun ini tidak pernah dapat kabar dari Stefan. Lalu Max tahu darimana soal Stefan.
"Maksud lo apaan? Stefan baik-baik aja kan?" tanya Yuki terdengar panik. Max menatap Yuki lekat, lalu mengangguk.
"Lebih dari baik. Kakak gue ngeliat dia di Jepang," ujar Max kemudian. Yuki menatap Max.
"Jepang? Bukannya Stefan di Jerman?" tanya Chika bingung.
"Itu dia yang bikin gue bingung. Kakak gue ngeliat dia bareng beberapa orang bule. Stefan terlihat beda. Pakaiannya rapi. Seperti pengusaha muda. Kakak gue ngga sempet say hello, dia keburu pergi," cerita Max.
"Mungkin dia udah lupa sama kita," ujar Chika. Gio menggeleng.
"Dia bukan orang seperti itu," ujar Gio tegas.
"Kenapa dia ngga pernah kasih kabar ke kita?" tanya Nina.
"Dia pasti punya alasannya sendiri," ujar Yuki pelan. Mereka semua diam. Terlarut dalam pikiran masing-masing.
= * =
Stefan duduk bersama rekan bisnis ayah Nasya. Mereka membicarakan bisnis yang akan menjadi project kerja mereka selanjutnya. Nasya duduk di samping Stefan. Memperhatikan lelaki itu dengan lekat. Wajah tampan Stefan membuat Nasya tertarik. Kepribadian Stefan membuat gadis itu menyukainya. Ayah Nasya memperhatikan gerak-gerik anak semata wayangnya ini. Terlihat jelas putrinya itu sedang jatuh cinta pada Stefan. Ayah Nasya berdehem pelan. Hal itu membuat Nasya terkejut. Ia melihat ke arah ayahnya. Ayahnya tersenyum jahil. Nasya menunduk malu. Stefan masih sibuk berbicara pada rekan bisnisnya. Ayah Nasya memukul gelas dengan garpu pelan. Semua mata memandang ke arah ayah Nasya.
"Maaf, saya mohon perhatiannya sebentar..." ujar ayah Nasya. Semua mata memandang.
"Malam ini adalah malam spesial bagi saya. Dan sangat spesial untuk anak saya," Nasya kontan menoleh pada Ayahnya. Menatapn ayahnya bingung.
"Perusahaan kami berjalan sukses berkat saudara Stefan. Dia adalah karyawan baru di perusahaan kami, namun prestasinya luar biasa mengagumkan." ujar ayah Nasya. Stefan tersenyum kecil.
"Terima kasih atas pujiannya, pak. Ini semua juga berkat Nasya. Dia sudah banyak membantu saya," ujar Stefan.
"Saya tahu, karena itu saya berencana akan menjodohkan kalian berdua. Nasya dan Stefan," ujar ayah Nasya. Stefan tercekat kaget. Ia menoleh ke arah Nasya, meminta penjelasan atas ucapan ayahnya. Nasya menggeleng pelan. Ia menatap ayahnya bingung.
"Ayah..." panggil Nasya pelan.
"Ayah tahu sayang, kamu menyukai Stefan bukan?" tanya ayah Nasya. Nasya terdiam. Ia melihat ke arah Stefan. Terlihat dengan jelas wajah Stefan syok mendengar semua itu.
continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Destiny
RomanceSaat engkau mencintai seseorang, katakanlah... sebelum akhirnya ia pergi dan kau menyesal...