Verrel sudah menunggu Yuki di sebuah cafe dekat kantornya. Hampir setengah jam ia menunggu Yuki. Tak berapa lama kemudian orang yang ditunggu pun datang. Verrel sedikit kaget melihat penampilan Yuki. Kemeja abu-abu selutut serta hotpants warna putih yang sedikit terlihat. Yuki pun langsung duduk dihadapan Verrel.
"Ehmm...kemana perginya dress mini hitam, merah atau putih?" tanya Verrel. Yuki menaikkan sebelah alisnya. Ia menunduk dan tersenyum geli. Verrel menatap Yuki bingung.
"Ada seseorang yang suka dengan style aku seperti ini," ujar Yuki sambil tersenyum.
"Seseorang?" tanya Verrel pendek. Yuki hanya mengangguk cepat.
"Oh iya, mana berkas yang harus aku tandatangani?" tanya Yuki. Verrel menyerahkan sebuah map berwarna biru pada Yuki. Yuki membuka dan membacanya dengan seksama.
"Kamu semalam ngga datang ke pub?" tanya Verrel seraya menyeruput kopinya.
"Dateng," jawab Yuki pendek. Ia masih membaca berkas yang ada ditangannya.
"Tumben Gio ngga telpon. Gio yang jemput kamu?" tanya Verrel lagi. Yuki menggeleng pelan.
"Jadi dijemput Max?" tanya Verrel kemudian. Lagi-lagi Yuki menggeleng. Verrel sedikit terkejut mendengar jawaban Yuki. Bukan Gio dan Max yang menjemput Yuki, lalu siapa? Verrel tersenyum kecil, sepertinya ia tahu siapa yang menjemput Yuki.
"Apa dia 'seseorang' itu?" tanya Verrel sambil tersenyum jahil. Yuki mendelik. Lalu tersenyum.
"Yup!" ujar Yuki semangat. Ia pun membubuhkan tandatangannya di atas berkas yang sudah ia baca lalu menyerahkannya pada Verrel. Verrel memeriksanya sekilas lalu memasukkan map tersebut ke dalam tasnya.
"Besok pagi ada pertemuan di..." Yuki menggeleng pelan sambil meminum Moccacino yang sudah dipesan oleh Verrel sebelumnya.
"Kamu aja yang pergi. Aku ada urusan," potong Yuki cepat. Verrel menghembuskan napasnya pelan. Harusnya ia tahu Yuki akan mengatakan hal demikian.
Drrrtt...drrtt... Ponsel Yuki bergetar. Sebuah pesan dari Stefan. Yuki tersenyum membaca pesannya. Stefan mengajaknya pergi makan siang bersama-sama dengan sahabatnya yang lain. Mereka janji bertemu di cafe Gio.
"Aku harus pergi sekarang," ujar Yuki seraya menyeruput Moccacino-nya sampai habis. Verrel hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Yuki. Ia sudah terbiasa melihat tingkah aneh Yuki yang lainnya. Tapi Yuki tidak pernah ambil pusing soal itu.
"Hati-hati ya!" teriak Verrel. Yuki hanya melambaikan tangannya. Tak berapa lama kemudian ia pun telah menghilang di balik pintu.
= * =
Yuki datang dengan tergesa-gesa setibanya ia di cafe Gio. Ia datang terlambat karena terjebak macet. Di meja tempat biasa mereka duduk sahabat-sahabatnya sudah menunggu. Yuki segera berlari ke arah mereka. Dengan napas yang terengah-engah Yuki tiba dihadapan sahabat-sahabatnya.
"Sorry, aku telat. Soalnya aku kejebak macet," ujar Yuki sambil mengatur napas.
Mereka mengamati penampilan Yuki yang lain dari biasanya. Nina dan Chika saling berpandangan. Gio mengalihkan pandangannya. Sedangkan Max melongo tidak percaya melihat penampilan Yuki. Dress mini berubah menjadi kemeja selutut.
"Kamu belum pulang ke rumah?" tanya Stefan mengalihkan perhatian.
"Belum. Tadi aku langsung pergi ke kantor lalu ke sini." jawab Yuki sembari duduk disebelah Stefan.
"Kemana mini dress kamu?" tanya Chika. Yuki memandang Chika lalu tersenyum.
"Baju kurang bahan itu dibuang sama seseorang," ujar Yuki seraya melirik ke arah Stefan. Stefan hanya tersenyum kecil. Gio beranjak dari duduknya lalu berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan makan siang untuk sahabat-sahabatnya.
"My G, aku bantuin ya," ujar Yuki seraya berjalan ke arah Gio. Gio melirik Yuki sekilas. Yuki sedang menata makanan di atas piring.
"Kamu nginep di hotel bareng Stefan, Ki?" tanya Gio. Yuki mengangguk pelan. Gio menghela napas.
"Tapi kita ngga macem-macem kok," ujar Yuki. Gio tersenyum geli. Yuki menatap Gio kesal.
"Kalian udah dewasa. Ngga perlu dikasih tahu lagi mana yang baik dan buruknya suatu tindakan." ujar Gio. Yuki menyipitkan matanya. Sepertinya ia tahu kemana arah tujuan pembicaraan Gio.
"Jangan berpikiran yang macem-macem," ketus Yuki. Gio tertawa geli melihat Yuki yang menjadi kesal. Sesaat kemudian mereka sudah menikmati makanannya. Yuki beranjak dari duduknya.
"Aku permisi ke toliet dulu ya," ujar Yuki lalu pergi.
"Kamu akan tetap tinggal di Jakarta, Stef?" tanya Nina sambil menyuap makanannya. Stefan menggeleng.
"Aku hanya satu minggu disini. Setelah itu aku balik lagi ke Jerman," ujar Stefan.
Degh!!! Langkah Yuki terhenti. Ia tidak jadi mendekati Stefan dan lainnya. Ia menatap Stefan lekat. Lelaki yang selalu ia tunggu akan segera pergi. Padahal baru sebentar saja ia merasakan bahagianya, bahagia itu sudah harus pergi lagi. Tiba-tiba ia merasakan matanya perih. Yuki berjalan cepat menuju meja dan mengambil tas serta kunci mobilnya di atas meja. Stefan dan lainnya menatap Gio bingung.
"Aku ada urusan mendadak," ujar Yuki dingin seraya berjalan pergi. Stefan dan Gio saling berpandangan. Begitu juga dengan Nina, Chika, dan Max. Mereka bingung kenapa tiba-tiba Yuki ingin pergi. Padahal acara makannya belum selesai.
= * =
Yuki tiba di pub langganannya. Kevin tampak bingung melihat Yuki yang datang dengan penampilan seperti itu. Sebuah gelas minuman beralkohol telah diteguk habis oleh Yuki. Terlihat jelas wajah Yuki benar-benar frustasi.
"Aku hanya satu minggu disini..." Yuki masih mengingat perkataan Stefan tadi siang.
"Kenapa secepat itu kamu pergi. Aku kan belum..." Sebuah tangan menyentuh bahu Yuki lembut. Yuki mendongak dan melihat Stefan berdiri disana memasang wajah yang begitu dingin dan tajam.
"Ayo, kita pulang." ujar Stefan dingin. Yuki menepiskan tangan Stefan.
"Ngga! Aku masih mau disini," ujar Yuki sambil menatap Stefan sendu. Stefan melihat lima gelas kosong didekat Yuki. Stefan dengan sigap langsung menggendong Yuki. Kontan Yuki berteriak, merontak, dan memukul Stefan. Stefan tidak peduli. Ia tetap menggendong Yuki dan membawanya keluar pub.
"Turunin aku!" pekik Yuki. Stefan masa bodo.
Ia tetap menggendong Yuki hingga tiba di parkiran. Stefan menurunkan Yuki. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil kunci mobilnya. Yuki dengan langkah terhuyung-huyung berusaha melarikan diri dari Stefan. Dengan cepat Stefan memegang tangan Yuki dan menarik Yuki ke dekatnya.
"Biarin aku pergi!" pekik Yuki.
"Ngga!" ucap Stefan dengan suara keras. Yuki menatap Stefan tajam. Namun lama kelamaan matanya mulai berkaca-kaca.
"Apa peduli kamu, heh? Toh kamu juga akan pergi secepatnya," ujar Yuki pelan. Stefan mulai melemahkan pegangannya.
"Aku sangat peduli sama kamu, Ki. Jangan buat hidup kamu hancur seperti ini," ujar Stefan pelan. Yuki mulai meneteskan air mata.
"Kamu ngga tahu apa-apa tentang hidup aku, Stef." ujar Yuki dengan suara bergetar. Stefan memandang Yuki sedih.
"Yuki..." Stefan memegang kedua bahu Yuki.
"Jangan pernah atur hidup aku. Karena aku ngga suka. Jangan pernah..." Yuki menghentikan kalimatnya karena Stefan menyentuh pipi kanannya. Itu membuat Yuki terdiam mematung.
"Aku pikir, saat aku memutuskan untuk pergi itu bisa membuat kamu bahagia." lirih Stefan.
Yuki semakin menangis. Perlahan Stefan mendekatkan wajahnya. Cupp... Ciuman lembut dan singkat mendarat dibibir Yuki. Itu berhasil membuat Yuki berhenti menangis. Sedetik kemudian Stefan melepaskan ciumannya. Yuki menatap Stefan semakin lekat.
"Kalau gitu, kamu harus..." Tiba-tiba tubuh Yuki lunglai.
continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Destiny
RomanceSaat engkau mencintai seseorang, katakanlah... sebelum akhirnya ia pergi dan kau menyesal...