Part 12

1.4K 140 0
                                    

Sudah seminggu Yuki keluar dari rumah sakit. Kehidupannya sedikit mulai membaik. Namun beberapa hari ini ia tidak masuk kuliah. Sahabat-sahabatnya khawatir, takut kejadian kemarin terulang lagi. Tapi Yuki meyakinkan tidak akan mengulanginya lagi. Memang Yuki tidak melakukan tindakan bodoh yang melukai dirinya sendiri, namun ia justru melakukan hal bodoh yang merugikan dirinya sendiri.

Kini hampir setiap malam ia mabuk-mabukan di bar. Dunia malam sudah menjadi teman Yuki sekarang. Minuman beralkohol menjadi teman curhatnya. Untung Gio dengan setianya mengantar Yuki pulang dalam keadaan mabuk. Papa Yuki tidak tahan melihat kebiasaan Yuki itu. Ia meminta Yuki untuk berbicara padanya hari ini di kantor. Yuki dengan langkah malasnya menuju ruangan Papanya.

"Papa mau ngomong apa?" tanya Yuki malas.

"Berhenti melakukan kebiasaan memalukan itu." ucap Papa tajam. Yuki mendelik kesal.

"Aku akan berhenti, tapi dengan satu syarat." ujar Yuki. Papa tampak berpikir sejenak.

"Baiklah. Apa syaratnya?" tanya Papa kemudian. Yuki tersenyum miring. Lalu berjalan pelan ke arah jendela.

"Aku ingin mandiri. Bekerja. Rumah sendiri. Dan aku pastikan tidak akan mengganggu Papa," ujar Yuki kemudian. Papa tertawa kecil, tawanya seperti sebuah ejekan.

"Kamu itu masih tanggung jawab Papa, Yuki. Sekarang aja kamu berantakan, bagaimana kalau kamu hidup sendiri?" ujar Papa. Yuki menatap Papanya tajam.

"Apa peduli Papa sama hidup aku," ujar Yuki dingin. Papa tercekat. Ia menarik napasnya pelan. Menatap Yuki lekat.

"Baiklah. Kamu boleh bekerja. Terserah kamu mau kerja dimana. Dan masalah rumah..."

"Aku yang akan cari sendiri. Papa urus aja pembayarannya. Aku harus pergi sekarang. Aku ada kuliah siang." ujar Yuki seraya pergi meninggalkan Papanya yang terlihat frustasi menghadapi tingkah Yuki.

= * =

Yuki berjalan menuju cafe Gio. Disana terlihat keempat sahabatnya sudah menunggu kedatangannya.

"Hai, all..." ucap Yuki.

Semua mata memandang ke arah Yuki. Yuki tersenyum manis melihat keempat sahabatnya. Max melongo. Nina dan Chika menganga. Sedangkan Gio menatap Yuki tajam. Mereka tidak percaya melihat penampilan Yuki sekarang. Rambut yang dipotong sebahu dan diwarnai merah maroon menyala. Ditambah dengan tank top hitam dan celana jins biru belel, karena ada sobekan dibeberapa bagian. Sukses membuat Yuki terlihat seksi. Siapa pun yang melihatnya pasti akan tergoda. Buktinya, semua mata lelaki di cafe ini hanya memandang ke arah Yuki.

"Yuki, lo kenapa?" tanya Chika. Yuki tersenyum kecil.

"Hanya ingin mencoba penampilan baru," jawab Yuki.

"You looks so hot, sweety!" pekik Max tertahan. Yuki terkekeh geli.

"Dia lebih terlihat seperti cewek murahan dimata gue." ujar Gio tajam. Yuki menatap Gio tajam. Hatinya begitu sakit mendengar perkataan Gio. Ia mendekat ke arah Gio. Menatapnya semakin dalam dan tajam.

"Masalah buat lo? Gue ngga pernah minta pendapat lo tentang hidup gue." ujar Yuki tajam. Gio tersenyum sinis.

"Gio!" pekik Nina.

"Mabuk-mabukan, peluk-pelukan dengan lelaki yang bahkan ngga lo kenal. Sekarang berpenampilan seperti ini. Dimana jalan pikiran lo! Lo mau merusak hidup dan masa depan lo!" ucap Gio dengan nada keras. Semua mata memandang ke arah mereka berdua. Dada Gio naik-turun mengatur napasnya. Mata Yuki berkaca-kaca. Ia menatap Gio lekat.

"Hidup gue emang udah hancur. Heh! Gue kesini karena gue kangen sama kalian, tapi kayaknya gue salah." ujar Yuki seraya berjalan keluar meninggalkan Gio dan lainnya.

"Harusnya kita dengerin dulu penjelasan dia. Jangan ngejudge dia kayak gini," ujar Nina yang kemudian berlari keluar menyusul Yuki.

Gio mengacak rambutnya kesal. Max dan Chika hanya diam dan saling berpandangan. Mereka juga tidak mengerti kenapa Yuki bisa berubah. Mereka berpikir ini pasti karena Al. Karena semenjak dikhianati lelaki itu Yuki selalu bertingkah diluar kebiasaannya. Nina menarik tangan Yuki. Dengan cepat Yuki menghapus airmatanya. Ia tidak ingin Nina melihatnya menangis.

"Apa ini karena Al?" tanya Nina pelan sambil membelai lembut rambut Yuki. Yuki menggeleng pelan dan tersenyum.

"Bukan hanya Al. Semuanya udah berubah, Nin. Semuanya berantakan. Hidup gue. Masa depan gue. Semuanya udah beda," ujar Yuki lirih. Suaranya terdengar serak karena menahan tangis. Nina tersenyum getir, kemudian ia memeluk Yuki erat. Mengusap dan menepuk punggung Yuki lembut.

"Kita semua sayang sama lo, Ki. Gio ngga mau sesuatu yang buruk terjadi sama lo. Karena dia udah janji sama Stefan akan ngejagain lo." ujar Nina. Yuki tertawa kecil.

"Gue tahu, Nin. Oh ya, gue tadi cuma mau bilang sama kalian, kalo gue udah mulai kerja di salah satu perusahaan Papa. Gue juga beli apartement. Gue mau hidup mandiri. Seperti apa yang dikatakan Stefan. Gue harus bisa hidup mandiri." ujar Yuki. Nina terlihat senang. Lalu muncul ide diotaknya. Nina menulis pesan singkat untuk Gio, Chika, dan Max. Sesaat kemudian mereka keluar dari cafe. Dengan wajah sedikit kesal, Gio menghampiri Yuki.

"Kita harus cari perlengkapan untuk ngisi rumah baru lo." ujar Gio sembari tersenyum kecil. Yuki menyipitkan matanya memandang Gio. Memasang wajah sedikit kesal.

"Maaf. Gue udah keterlaluan sama lo," ujar Gio kemudian. Yuki memeluk Gio erat.

"Gue yang harusnya minta maaf sama lo, my G." ujar Yuki.

"Oke...Kalo gitu kita berangkat sekarang." ujar Max penuh semangat.

Mereka pun menuju pusat perbelanjaan untuk membeli perabot untuk mengisi apartement baru Yuki. Mereka terlihat menikmati kebersamaan yang ada. Walau ada sedikit masalah, tapi mereka menyelesaikannya dengan baik.

continue...

Our DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang