Part 15

1.5K 150 0
                                    

Sinar matahari pagi mengintip lewat celah tirai yang bergerak lembut. Hal itu membuat tubuh Yuki menggeliat pelan dalam selimutnya. Tidak hanya itu, aroma lezat yang menyebar di ruangan membuat Yuki segera membuka kedua matanya. Yuki mengerjap beberapa kali dan memastikan telah mengumpulkan energi untuk bangun setelah tidur pulasnya tadi malam.

"Uhmm... Moccacino dan Waffle cokelat..." gumam Yuki.

Ia kemudian duduk dan merapikan rambutnya yang berantakan. Ia menggapai gelas yang berisi air putih di atas laci lalu meneguknya. Ia mengedarkan pandangannya kesekeliling. Ini bukan di apartementnya, bukan di rumah Gio, Nina, Chika ataupun Max. Lalu dimana ia berada sekarang? Yuki memperhatikan setiap sisi ruangan dengan seksama.

"Ini seperti di...hotel??" ucap Yuki sedikit tidak yakin.

Aroma harum dari Waffle yang terpanggang semakin menusuk hidung Yuki. Ia beranjak dari duduknya. Mata Yuki membulat sempurna saat melihat tubuhnya. Dress mini yang ia kenakan sebelumnya berubah menjadi kemeja putih yang panjangnya selutut. Yuki mengernyitkan keningnya. Ia pun kemudian berjalan mengikuti arah aroma lezat itu berasal. Yuki berdiri mematung saat melihat seorang lelaki berdiri dibalik kompor gas. Apakah lelaki itu yang membuat Waffle? Siapa dia? Gumam batin Yuki.

"Ehhemmm..." Yuki berdehem kecil.

"Selamat pagi," ujar lelaki itu tanpa menoleh pada Yuki. Yuki melangkah mendekat. Tapi langkahnya terhenti saat melihat lelaki itu dengan posisi yang sangat dekat. Ia juga tidak asing dengan suaranya. Ia seperti mengenal lelaki itu. Tapi siapa?

"Gimana tidur kamu semalam?" tanya lelaki itu seraya berbalik menghadap Yuki.

Yuki tercekat. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Lelaki itu tersenyum ke arah Yuki. Yuki berjalan semakin mendekati lelaki itu. Matanya tidak berkedip sedikit pun menatap lelaki dihadapannya. Bugh! Sebuah tendangan tepat mendarat tepat di tulang kering lelaki itu. Arrghh... Teriak lelaki itu kesakitan. Yuki mendengus kesal. Ia menatap lelaki itu tajam.

"Hei, gini cara kamu nyambut kedatangan aku," ujar lelaki itu. Yah, lelaki itu adalah Stefan. Ia memegangi kakinya yang kesakitan, namun ia masih tersenyum pada Yuki.

"Itu pantas buat orang yang udah bohong selama 5 tahun!" pekik Yuki kesal. Matanya terasa perih karena menahan tangis. Stefan hanya terkekeh geli. Yuki mendekat dan langsung memeluk Stefan erat. Ia menangis dipelukan Stefan. Stefan mengusap lembut punggung Yuki.

"Aku kangen banget sama kamu, Ki." ujar Stefan lembut sambil mencium puncak kepala Yuki. Lama mereka saling berpelukan. Stefan tersenyum jahil. Uhmm... Ia seolah-olah mencium sesuatu.

"Ada apa?" tanya Yuki.

"Bau asem. Kamu belum mandi kan? Sana mandi, aku akan siapin sarapan buat kamu," ujar Stefan seraya melepaskan pelukannya. Yuki mengerucutkan bibirnya kesal. Stefan hanya tertawa kecil melihat tingkah Yuki. Dengan malas-malasan Yuki berjalan menuju kamar mandi. Sedangkan Stefan menyiapkan sarapan. Beberapa menit kemudian Yuki keluar dari kamar mandi.

"Aku udah siapin baju ganti buat kamu," ujar Stefan seraya menunjuk ke arah tempat tidur.

Yuki pun mengambil baju yang disiapkan Stefan. Kemeja berwarna abu-abu selutut. Yuki menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap kesekeliling mencari dress yang ia gunakan semalam. Hasilnya nihil. Dengan terpaksa Yuki mengenakan kemeja itu dan segera menuju meja makan. Stefan sudah duduk manis disana. Ia tersenyum melihat Yuki. Ia memperhatikan Yuki dari atas hingga bawah. Rambut merah Yuki sengaja ia gerai. Tidak dililitnya dengan handuk. Itu memang kebiasaan Yuki. Stefan tahu itu. Ia pun memberikan segelas Moccacino dan sepiring Waffle cokelat pada Yuki. Segera Yuki menghirup aroma Moccacino-nya dan meneguknya.

"Hmm...aroma dan rasanya tetap sama," ujar Yuki pelan. Stefan tidak melepaskan pandangannya dari Yuki.

"Kenapa kamu mandangin aku kayak gitu?" tanya Yuki sambil mengunyah Waffle-nya. Stefan hanya tertawa kecil.

"Ngga ada apa-apa," jawab Stefan sambil meneguk Moccacino-nya.

"Ehm...kemana dress yang aku..."

"Aku lebih suka ngeliat kamu pakai kemeja itu ketimbang baju kurang bahan semalam," potong Stefan. Yuki terperangah. Stefan tersenyum kecil.

"Asal kamu tahu, baju kurang bahan itu dari perancang busana terkenal." ujar Yuki. Stefan menatap Yuki lekat. Yuki tahu arti tatapan itu. Kalau Stefan sudah menatapnya seperti itu berarti tidak ada bantahan lagi. Yuki menghela napas pelan. Lalu meneguk Moccacino-nya.

"Sejak kapan kamu punya rambut merah itu?" tanya Stefan. Yuki tersenyum tipis. Ia menatap Stefan sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Kenapa? Ehm...gimana menurut kamu?" tanya Yuki. Stefan menatap Yuki dalam. Itu membuat jantung Yuki berdebar-debar.

"You looks sexy," ujar Stefan pelan. Degh! Jantung Yuki seolah berhenti berdetak. Pipinya merona merah. Stefan tersenyum kecil melihat Yuki tersipu malu. Drrtt...drrtt... Tiba-tiba ponsel Stefan bergetar.

"Halo... Iya, saya segera kesana," ujar Stefan kemudian lalu meletakkan ponselnya kembali.

"Aku harus pergi sekarang," ujar Stefan seraya memakai jas hitamnya.

"Tapi aku belum selesai sarapan," ujar Yuki. Stefan memandang ke arah piring Yuki.

"Ya udah, kamu selesein aja sarapannya. Aku pergi dulu," ujar Stefan seraya mencium kening Yuki kemudian berlalu pergi.

Yuki tercekat. Stefan mencium keningnya. Yuki tersenyum kecil. Selesai sarapan Yuki berjalan melihat interior kamar yang disewa oleh Stefan. Saat berjalan tanpa sengaja ia menyenggol tas ransel milik Stefan. Isi dari dalam tas keluar bertaburan di lantai. Dengan cepat ia memasukkan isinya kembali. Namun ia terhenti saat melihat ada selembar foto yang posisinya menelungkup ke bawah. Perlahan Yuki mengambil foto tersebut. Namun tiba-tiba ponselnya berdering. Yuki melihat nama Verrel dilayar ponselnya. Yuki memperhatikan foto itu lagi. Yuki penasaran foto apa itu, tapi ia mengurungkan niatnya untuk melihat foto itu karena ia harus menerima telepon dari Verrel. Yuki memasukkan kembali foto itu kedalam ransel.

continue...

Our DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang