Part 29

1.7K 159 1
                                    

Max menggeram kesal. Ia memukul dinding rumah sakit untuk melampiaskan emosinya. Ingin rasanya ia membuat wajah Stefan hingga babak belur.

"Max, kamu hanya menyakiti diri kamu sendiri." ujar Nina seraya menarik tangan Max.

"Brengsek! Bisa-bisanya dia pergi dengan keadaan Yuki kayak gini," geram Max.

"Dia pasti punya alasan lain, Max." ujar Gio pelan.

"Meskipun ada, paling ngga dia harus nunggu sampai Yuki sadar. Kalo tiba-tiba...arrgh..."

Max menghapus airmatanya yang sempat mengalir. Lalu ia melangkah masuk ke dalam menemui Yuki. Gio dan lainnya pun mengikuti dari belakang. Lalu duduk masing-masing di samping ranjang.

"Kalau terjadi sesuatu sama Yuki. Aku ngga akan lepasin dia. Akan aku..."

"Jangan Max..." lirih Yuki. Mereka memandang Yuki lekat. Gadis berwajah pucat itu tersenyum kecil ke arah mereka semua.

"Yuki kamu...udah sadar?" pekik Chika. Yuki tersenyum.

"Sejak kapan?" tanya Gio.

"Sejak tadi. Aku denger omelan kamu, Max. Jangan lakuin itu," ucap Yuki pelan.

"Dokter..." teriak Nina seraya berlari keluar. Tak berapa lama kemudian Nina pun datang bersama dokter yang segera memeriksa kondisi Yuki sekarang.

Kesehatan Yuki sudah membaik. Dokter pun mengatakan setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut dalam beberapa hari ia sudah boleh pulang. Di luar kamar papa Yuki memperhatikan kebersamaan Yuki bersama sahabat-sahabatnya. Meskipun ia tertawa bahagia namun bias matanya berkata lain. Ada kesedihan mendalam disana.

"Kemarin Stefan udah kembali ke Jerman, Pa." ujar Mama tiri Yuki pelan.

"Aku tahu, Ma." ujar Papa Yuki sambil memandang lekat ke arah Yuki.

= * =

Hari ini Yuki keluar dari rumah sakit. Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, ia pun dibolehkan untuk pulang ke rumah. Yuki merapikan pakaiannya. Kemeja putih selutut dan celana jins belel menutupi tubuh Yuki.

"Udah siap?" tanya Nina yang sudah berdiri di depan pintu. Yuki tersenyum dan mengangguk pelan.

"Yang lainnya kemana?" tanya Yuki sembari berjalan ke arah Nina.

"Ehmm... Surprise." jawab Nina sambil mengedipkan sebelah matanya.

Yuki tertawa kecil. Keduanya pun melangkah keluar menuju mobil Nina. Yuki memandang keluar mobil. Matanya menatap kosong. Di luar sedang gerimis. Nina melihat Yuki sekilas dan tersenyum kecil.

"Ehemm..." Nina berdehem kecil. Yuki menoleh sembari tersenyum tipis. Ia mengerling sebentar lalu kembali memandang keluar.

"Stefan udah balik lagi ke Jerman." ujar Nina pelan. Seketika raut wajah Yuki berubah. Ia tahu pasti pembicaraan ini akan muncul juga. Ia menarik napas pelan lalu memandang Nina lekat.

"Terus?" tanya Yuki. Nina memandang Yuki bingung.

"Ehmm...kamu ngga mau tahu kenapa dia harus kembali lagi ke Jerman?" tanya Nina hati-hati. Yuki tersenyum.

"Sebelum aku menutup mata setelah kecelakaan itu, aku udah mutusin untuk merelakan dia pergi. Jadi..." Kalimat Yuki tersendat.

"Tapi sulit kan? Kamu ngga bisa terima dia pergi." ujar Nina pelan. Nina pun menepikan mobilnya dan berhenti. Lalu menatap Yuki lekat. Yuki menunduk dalam.

"Aku rasa ini akan lebih sakit dari yang pertama." ujar Yuki dengan suara paraunya. Tubuhnya gemetar.

"Yuki..." lirih Nina. Yuki mengangkat kepalanya.

"Dia bilang cinta sama aku. Dia juga bilang maaf karena udah nyakitin aku. Tapi aku ngga bisa bilang, kalo aku juga cinta sama dia."

Tangis Yuki pecah. Ia benar-benar terisak sekarang. Nina yang melihat itu pun turut menangis. Ia tahu betapa menderitanya sahabatnya ini, saling mencintai namun tidak dapat bersama. Cinta memang egois. Tidak peduli hati siapa yang disakiti. Nina menarik Yuki kedalam peluknya. Berusaha menenangkannya. Hampir setengah jam mereka masih berdiam diri di dalam mobil. Nina membiarkan Yuki merasa tenang dulu. Dan membiarkan sisa-sisa airmata itu menghilang. Agar tidak banyak pertanyaan yang akan muncul nanti.

"Ayo, kita pergi. Mereka pasti udah nungguin kita." ujar Yuki sembari tersenyum, menunjukkan senyum yang menandakan ia sudah merasa tenang. Nina mengangguk. Kemudian menghidupkan mesin mobilnya. Sedetik kemudian mobil itu telah melaju menuju tempat tujuan.

= * =
Di cafe Gio...

Yuki dan Nina berjalan masuk. Suasana hening. Yuki mencari-cari dimana ketiga sahabatnya itu.

"Surprise..." teriak Gio, Max, Chika, dan Verrel. Yuki tertawa kecil melihat tingkah keempat sahabatnya itu. Gio, Max, dan Verrel dengan kostum badutnya serta Chika dengan kostum ibu perinya.

"Kalian apa-apaan sih," ujar Yuki sambil tertawa.

"Tiga badut kece nan tampan ini akan membuat kamu bahagia." ujar Max dengan gaya ala badutnya. Yuki mendekat dan meninju perut Max yang buncit.

"Ini apaan lagi," ujar Yuki sambil mengambil hidung merah Gio dan rambut warna-warni Verrel.

"Dan ibu peri akan menyembuhkan luka kamu," ujar Chika sambil berputar kecil mengelilingi Yuki.

Yuki tidak henti-hentinya tertawa. Nina yang melihat itu bukannya tertawa justru menangis. Karena ia tahu ada luka yang begitu besar dibalik tawa itu. Nina pun bergegas lari meninggalkan mereka. Semua yang melihat itu tercengang bingung.

"Mungkin Nina kebelet," ujar Yuki sambil tertawa kecil. Gio yang menyadari ada yang tidak beres segera pergi menyusul Nina. Ia menemukan Nina sedang menunduk di sudut ruangan dekat toilet.

"Nina..." panggil Gio seraya mendekati Nina.

"Apa yang harus kita lakuin kalo luka dihati Yuki ngga bisa sembuh," ujar Nina sambil menangis. Gio hanya diam.

"Semua yang terlihat itu palsu. Dia begitu menderita. Aku ngga bisa ngeliat dia seperti itu. Berusaha tegar tapi nyatanya sangat rapuh." ujar Nina. Gio memeluk Nina. Menepuk punggung gadis itu lembut.

"Biar waktu yang menyembuhkan luka Yuki. Percaya, semua akan indah pada waktunya. Kita hanya bisa menunggu. Lalu melihat kebahagiaan yang sebenarnya akan datang."

Tak berapa lama kemudian, Gio dan Nina ikut bergabung bersama Yuki dan lainnya. Senyum dan tawa yang tercipta di wajah Yuki terlihat jelas. Sehingga kepedihan yang ia rasakan dapat ia sembunyikan dengan baik.

Di tempat lain, Stefan berperang melawan egonya sendiri. Menerima cinta seseorang yang jelas-jelas menyakitinya. Atau memilih orang yang dicintainya tapi akan membuat orang itu menderita. Ia harus teliti dalam memutuskan masalah ini. Stefan menatap kotak kecil berwarna merah yang ada ditangannya.

= * =

continue...

Our DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang