Yuki melirik sekilas ke arah kamar sebelum ia memasuki lift. Terdengar sayup-sayup suara dari Stefan dan gadis itu. Yuki menghela napas pelan, lalu melangkah masuk ke dalam lift. Ia menyandarkan dirinya ke dinding lift. Siapa wanita itu? Kenapa dia datang? Dan kenapa juga Stefan sangat terkejut dengan kehadiran gadis itu? Yuki mengacak-acak rambutnya pelan. Pertanyaan yang tidak ia temukan jawabannya kecuali ia bertanya langsung pada Stefan atau gadis itu. Yuki menunduk. Ia mendesah pelan.
"Apa-apaan nih," keluh Yuki.
Ia terkekeh geli melihat penampilannya sendiri. Kemeja biru selutut plus hotpants hitam. Ting... Pintu lift terbuka. Yuki segera berjalan menuju resto. Ia memperhatikan seluruh ruangan resto itu. Ada sebuah meja kosong di dekat jendela. Yuki berjalan ke arah sana, lalu duduk di salah satu kursi yang menghadap keluar. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Setengah jam lagi Gio dan lainnya akan datang. Yuki diam sejenak. Sedetik kemudian ia mengambil ponselnya dan menekan angka dua di dial number.
"My G, dinner-nya batal." ucap Yuki pelan. Di seberang sana, Gio terlihat bingung. Nina yang berada disampingnya terlihat bingung juga dengan ekspresi Gio. Gio memandang Nina.
"Kenapa batal?" tanya Gio. Yuki terdiam sejenak.
"Tiba-tiba Stefan ada urusan. Dan aku ada meeting mendadak." jawab Yuki.
"Meeting? Malam ini?" tanya Gio tak percaya. Ughh... Yuki menepuk dahinya pelan.
"Bodoh, kenapa harus meeting?" Gumam batin Yuki.
"I...ya," jawab Yuki gugup.
"Ya udah, kamu hati-hati. Dinner-nya lain kali aja," ujar Gio kemudian.
"Oke. Bye, my G." ujar Yuki seraya menutup ponselnya.
Ia mgenghembuskan napasnya pelan. Yuki melirik pergelangan tangannya lagi. Hampir satu jam ia menunggu Stefan. Tapi lelaki itu tidak juga muncul. Selera makan Yuki telah hilang. Ia pun beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan resto. Yuki menghentikan langkahnya saat melewati bar kecil yang ada di dekat resto. Ia pun memutuskan untuk duduk disana.
"Satu gelas wine merah," ujar Yuki. Bartender yang ada di hadapan Yuki hanya mengangguk pelan.
"Maaf, wine-nya tidak jadi. Moccacino saja," ujar Yuki.
Tiba-tiba ia ingat pesan Stefan yang melarangnya untuk minum alkohol lagi. Beberapa menit kemudian secangkir Moccacino dihidangkan di hadapan Yuki. Yuki mengaduk-aduk pelan minumannya. Ia melirik lagi jam di pergelangan tangannya. Sudah dua jam lebih, Stefan tidak menelpon atau datang ke resto. Yuki memposisikan kepalanya ke meja bar. Menunggu memang sangat membosankan. Waktu yang berjalan begitu lama.
Entah apa yang dibicarakan Stefan pada gadis itu hingga memakan waktu yang begitu lama. Mungkin Yuki sudah terlalu lama menunggu. Ia pun merasakan lelah. Perlahan Yuki mulai memejamkan matanya. Lama kelamaan mata itu tertutup sempurna. Dua kali panggilan dari bartender untuk membangunkan Yuki. Namun Yuki begitu lelap dalam tidurnya.
= * =
Stefan terus menatap sekeliling, mencari Yuki. Kemudian ia teringat sesuatu, mungkin saja saat ini Yuki sudah bersama Gio dan lainnya di suatu tempat. Stefan mengambil ponselnya lalu menghubungi Gio.
"Bukannya dinner malam ini batal? Tadi Yuki yang beri tahu," ujar Gio.
Stefan memijit pelan kepalanya. Perkataan Gio semakin membuat Stefan khawatir akan Yuki. Gadis itu tidak ada bersama Gio, lalu kemana ia pergi. Stefan melangkah pelan keluar dari resto. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat sebuah bar kecil. Ia pun langsung masuk ke dalam bar tersebut. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Pandangan Stefan berhenti di salah satu meja bar. Ada seorang gadis yang duduk disana. Stefan pun bergegas menghampiri gadis itu. Ia melihat gadis itu sedang menunduk. Menutupi wajahnya. Namun ia sepertinya mengenal gadis berkemeja biru yang tak lain adalah Yuki.
"Dia benar-benar..." desis Stefan tajam. Stefan menatap Yuki tajam.
"Kan udah aku bilang, jangan minum alkohol lagi." ucap Stefan tajam. Bartender yang melihat Stefan memarahi Yuki pun mendekatinya.
"Dia tidak mabuk. Dia hanya tertidur. Hampir tiga jam dia duduk disini. Sudah lima cangkir Moccacino dia habiskan." jelas bartender.
"Ter...tidur?" Stefan tercekat. Ia memperhatikan Yuki lekat. Wajah pulas seseorang yang sedang tidur. Ia pun menggendong tubuh Yuki.
"Permisi, Mas." ucap Stefan seraya pergi.
Dari jauh, Nasya melihat Stefan menggendong Yuki. Tangannya mengepal keras. Matanya mulai berkaca-kaca melihat kejadian di depan matanya itu. Stefan meletakkan tubuh Yuki di ranjang. Ia mengusap lembut rambut Yuki. Ada rasa bersalah terpancar dari kedua matanya. Saat akan melangkah pergi, tangan Yuki menahannya.
"Jangan pergi...aku mohon...jangan pergi lagi..." ucap Yuki pelan. Stefan menatap Yuki lekat. Setetes bening mulai membasahi pipi Yuki. Mulai terdengar isakan kecil dari Yuki. Ia semakin menggenggam tangan Stefan erat.
"Aku mau kamu tetap tinggal disini...jangan tinggalin aku..." Kini tangis Yuki memenuhi ruangan kamar. Stefan duduk di lantai sambil menggenggam tangan Yuki erat.
"Maafin aku, Ki. Maaf..." ucap Stefan lirih.
Suaranya bergetar. Tangis Yuki semakin pecah. Stefan beranjak dari duduknya dan meninggalkan Yuki menangis. Membiarkan gadis itu melepaskan emosi serta rasa kecewa yang menyelimutinya saat ini. Stefan duduk di sofa sambil menunduk dalam. Di tempat tidur, masih terdengar sisa-sisa tangis kecil dari Yuki. Stefan melihat jam di dinding. Pukul 2 malam tepat. Lalu ia memandang ke arah Yuki. Ia pun beranjak dari duduknya dan mendekati Yuki. Ia berbaring di sebelah Yuki. Lalu memeluk erat tubuh Yuki dari belakang.
"Minggu depan aku akan bertunangan, Ki. Gadis itu, Nasya. Dia calon tunangan aku." ucap Stefan pelan.
Suara pelan itu terdengar sangat tegas. Tapi Yuki tidak tahu apa yang terjadi dibalik ucapan itu. Sebuah air mata menetes di sudut mata Stefan. Lelaki itu mati-matian menahan tangisnya agar tidak terdengar. Yuki menangis tidak bersuara. Hanya tubuhnya yang bergetar hebat. Mengisyaratkan ia sedang menangis. Stefan semakin mengeratkan pelukannya. Hal itu semakin membuat Yuki ingin menangis. Ingin rasanya ia berbalik dan meyakinkan lelaki itu untuk tetap tinggal. Tapi ia merasa tidak memiliki tenaga lagi untuk melakukan itu. Stefan mencium lembut puncak kepala Yuki.
"Maafin aku, Ki... Maaf...maaf..." lirih Stefan.
= * =
continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Destiny
RomanceSaat engkau mencintai seseorang, katakanlah... sebelum akhirnya ia pergi dan kau menyesal...