💔Sembilan belas

7.2K 395 6
                                    

Selamat membaca...
.
.
.

Karena memang seperti inilah gemelut kehidupan bumi. Di mana kadang kita hanya mampu menerima keputusan langit.

________

Dinginnya pagi menyentuh dan membelai lembut kulit kuning langsat Ashira. Ia baru saja selesai mengguyur tubuhnya di kamar mandi. Setelah ia selesai membantu Uminya memasak di dapur.

Ashira duduk di depan cermin rias, memperhatikan lekuk wajahnya yang terlihat lebih kurus dari beberapa bulan yang lalu, saat ia masih menyantri di pesantren.

"Rupanya luka bukan hanya menggerogoti hatiku. Tapi, juga mampu menurunkan berat badanku."

Gumam Ashira meraba-raba bagian atas dadanya hingga di sekitar ceruk leher jenjangnya yang terekspos di depan cermin riasnya.

Beban pikirannya selama ini benar-benar membuatnya terlihat lebih kurus dengan mata yang terlihat lebih sayu di sebabkan karena sembab keseringan menangis selama ini.

"Aku ini bodoh atau bagaimana? Kenapa harus selalu menangisi hal sepele seperti kemaren?"

Lirih Ashira merutuki dirinya, saat ia menangisi Shauqi yang sedang bergandengan tangan dengan Anisa dua hari yang lalu di supermarket.

Saat Ashira sedang memperhatikan keadaan wajah dan tubuhnya sendiri. Gawai yang ia simpan di meja nakasnya pun berbunyi, pertanda ada panggilan masuk dari seseorang. Segera Ashira beranjak dari duduknya, lalu mengambil gawainya tersebut yang sudah berdering beberapa detik lalu.

Seulas senyum hangat tersungging di bibir mungil nan merah jambunya. Ia pun menjawab panggilan tersebut dengan cepat. Saat mengetahui siap yang memanggilnya pagi-pagi.

[Assalamu alaikum.]

ucap orang di sebrang telpon, saat Ashira menjawab panggilannya.

[Waalaikumus salam warohmatullah.]

jawab Ashira tersenyum, seraya duduk di ranjangnya dengan keadaan tubuh yang masih terbalut handuk. Dan rambut basahnya yang masih di sanggul menggunakan handuk kecil.

[Ada apa, Kak?]

tanya Ashira dengan lembut, seraya tidak sedikit pun memudarkan senyuman di bibirnya. Entah apa yang gadis itu rasakan, setiap kali ia berinteraksi dengan suaminya. Meski hanya lewat via telpone sekalipun. Ashira tetap saja meraskan hal yang berbeda, sesuatu yang awalnya terasa asing yang ia rasakan pada Afiad. Kini sesuatu asing itu malah menjadi sebabnya untuk terus mengulas senyum.

[Tidak apa-apa. Hanya rindu istriku.]

Balas Afiad terkekeh. Begitupun Ashira yang juga semakin lebar mengulas senyumnya. Seiring pipinya yang terasa menghangat. Entah kenapa.

[Hanya kemaren kita bertemu. Dan semalam kita menelpon. Pagi-pagi seperti ini kamu sudah rindu. Dusta saja kamu, Mas.]

Balas Ashira terkekeh kecil. Ia sengaja merubah nama panggilannya dengan sebutan Mas untuk menggoda dan membercandai suaminya. Namun, panggilan yang menurutnya hanya bercanda itu di tanggapi serius oleh Afiad. Pemuda itu tersenyum lebar di sebrang telpon, saat mendengar panggilan dari istrinya yang berbeda dari biasanya.

[Aku suka panggilan baru mu itu. Tetap panggil aku dengan sebutan itu, Ra.]

[Hah...tapi aku kan hanya bercan-]

[Tidak ada penolakan. Aku suka dengan sebutan itu. Jadi, kamu harus tetap memanggilku dengan sebutan itu. Selamanya. Tidak boleh di rubah lagi. Ingat, ini permintaan suami. Dan istri harus mematuhinya, sayang.]

Dzikir cinta Ashira💔 {Romansa Islami}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang