9. Rayuan

10.4K 1.7K 207
                                    

Sejak hari itu, Haiva tidak lagi kaku dan ketakutan jika bertemu dengan Haris. Betapapun seringnya Haris memarahinya soal pekerjaan, diluar jam kerja Haris kembali bersikap seperti Bruce Banner. Beberapa kali saat Haiva lembur dan pulang malam, Haris bahkan menawarinya pulang bersama. Haiva juga mulai memberanikan diri menyapa bosnya itu setiap berpapasan di koridor. Di hari lain ketika ia dan Mbak Naya, berencana makan seafood bersama, Haiva juga sudah berani mengajak bos besarnya itu ikut bersama mereka ketika mereka bertemu di halaman parkir.

“Kami mau pergi makan seafood, Pak! Bapak ikut aja,” kata Haiva bersemangat.

Tapi Naya, sambil tertawa, melarang Haiva. “Jangan ajak Bapak,” katanya, “Bapak pasti nggak mau.”

Haris balik bertanya. “Kenapa saya pasti tidak mau?”

“Karena kami nggak akan makan di restoran seafood. Ini warung pinggir jalan,” Naya menjawab sambil tersenyum mengejek.

Mata Haris mengerjap.

“Jadi kenapa?” Haiva bertanya, “Kepiting saos padang disana enak banget kan Mbak? Bapak pasti suka.”

“Saya baru ingat, saya harus langsung pulang,” kata Haris tiba-tiba.

“Eh?” Haiva bengong. Sikap Haris berubah dengan sangat cepat.

“Kalau gitu kami duluan, Pak,” kata Naya cepat. Tersenyum dan menarik tangan Haiva untuk segera ke mobilnya.

Sampai di mobilnya, Naya baru menjelaskan alasan mengapa bos besar mereka tidak akan mau diajak makan di Seafood Ayu.

“Bapak punya penyakit alergi.”

“Alergi makanan laut? Itu mah saya, Mbak. Saya pernah lihat Bapak makan kepiting dan beliau baik-baik aja kok.”

“Bukan,” jawab Naya kalem. “Penyakit Bapak itu namanya Cheap-Food Alergy.

“Food Alergy apa, Mbak?”

Cheap-Food Alergy,” Nala mengulangi sambil nyengir sendiri, “Alergi sama makanan murahan dan makanan pinggir jalan. Percaya deh, beliau bakal langsung sakit perut kalau makan makanan murah atau di pinggir jalan. Harus di restoran.”

Haiva bengong. Tapi kemudian ia tertawa. Tidak tahan mendengar hal yang baginya lucu luar biasa itu.

*  *  *

Bukan hanya sudah mulai berani menyapa Haris dengan ramah, Haiva juga tidak lagi terlalu sungkan "makan bersama" bos besarnya itu. Biasanya jika kru QA lembur dan Pak Haris membawakan cemilan sore hari, Haiva hanya berani mengambil cemilan tersebut, mengucapkan terima kasih, lalu membawanya ke ruangannya dan makan bersama Mas Bram dan Mbak Yuli sambil melanjutkan pekerjaannya. Tapi beberapa pekan terakhir, Haiva tidak lagi tampak grogi ketika Pak Haris menyuruhnya makan bersama di ruang meeting.

Sore itu hanya Naya dan Haiva yang masih berada di kantor ketika Haris datang membawa sebungkus martabak manis dan sebungkus martabak telor.

"Banyak banget, Pak," kata Naya girang ketika menerima dua bungkus martabak tersebut. "Tinggal saya dan Haiva doang disini."

Karena ruang kerjanya tidak terlalu luas dan penuh dengan dokumen, tidak mungkin makan martabak di ruangannya, sehingga ia segera membukakan pintu ruang meeting yang terletak di depan ruang kerjanya. Ruang meeting itu selain digunakan untuk rapat, sering juga digunakan untuk makan bersama.

"Saya kira masih pada lembur. Ternyata tinggal dua ekor," kata Haris sambil langsung duduk di salah satu kursi di ruang meeting itu.

"Emangnya kita burung," Naya protes sambil mencebik, tapi tetap dengan cekatan membuka bungkus martabak itu.

CERITA YANG TIDAK DIMULAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang