29. Pushed Away

9.5K 1.6K 240
                                    

Warung makan yang didatangi Haris dan Haiva, meski tidak terlihat mewah, tapi sangat luas. Meja-meja dan kursi-kursi panjang disusun sedemikian rupa, sehingga barangkali lebih dari 50 pengunjung dapat makan di warung seafood tersebut. Meski penampakan warung tersebut sangat sederhana, Haris sempat melihat banyak mobil terparkir di halaman parkir warung tersebut.

Hari itu warung makan itu cukup penuh. Ditambah lagi beberapa orang yang memesan untuk dibawa pulang, plus antrean abang-abang ojek online yang memesankan makanan untuk customernya. Barangkali karena akhir pekan, makanya bisa seramai itu.

Tidak banyak pilihan tempat untuk duduk saat mereka datang. Haiva dan Haris memilih tempat duduk cukup jauh dari kipas angin supaya tidak masuk angin, tapi sengaja dekat dengan jendela warung supaya tetap dapat merasakan semilir angin. Tapi di posisi strategis itu, mereka tidak mendapat tempat untuk duduk berhadapan. Alih-alih, mereka harus makan bersisian.

"Iva sering kesini?" tanya Haris sambil mengedarkan pandangan.

"Sering, Pak. Dulu, sama Mbak Naya. Ini tempat makan favorit Mbak Naya."

Haris mengangguk-angguk.

"Saya dulu pernah ngajakin Bapak kesini juga."

"Masa?"

"Tapi Bapak nggak mau. Alasannya pengen langsung pulang."

"Oh ya?" Kok dirinya sendiri bahkan tidak ingat pernah menolak ajakan Haiva?

"Lalu Mbak Naya cerita, bahwa Bapak alergi sama makanan murah dan makanan pinggir jalan."

Haris spontan tertawa.

Haiva termangu untuk sepersekian detik. Kenapa wajah pria itu saat tertawa selalu menyilaukan sih? Pakai skincare apa sih, glowingnya ngelebihin matahari gitu. Gantengnya nggak bisa dikurangin dikit aja, Pak?

Tapi Haiva buru-buru membuang pikiran absurdnya. Tadi tingkah absurdnya di mobil Haris sudah sempat membuat suasana menjadi canggung. Dia tidak boleh melakukan kesalahan yang sama lagi.

Untung seorang pramusaji mengantarkan pesanan minuman mereka, sehingga pikiran absurd Haiva bisa sedikit terdistract.

Haiva mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lalu menelannya dan meminum es jeruk yang baru saja dibawakan sang pramusaji.

"Iva sakit?" tanya Haris. Dia menyadari bahwa yang ditelan Haiva barusan adalah sebuah obat.

"Saya kan alergi seafood, Pak. Makanya minum antihistamin dulu. Hehehe," kata Haiva sambil cengengesan.

"Oh iya, saya lupa bahwa Iva alergi makanan laut," Haris kaget ketika mengingat bahwa Haiva alergi seafood. Dulu dia juga pernah mengajak Haiva makan di restoran seafood dan gadis itu hanya bisa memesan gurame.

"Kalau Iva alergi, kenapa malah mengajak saya makan disini?" tanya Haris bingung.

"Demi Bapak. Karena Bapak suka seafood," jawab Haiva enteng.

"Tapi bagaimana dengan alergi Iva?" Haris pernah menyaksikan salah seorang anak buahnya mengalami alergi hingga sesak nafas dan perlu dilarikan ke rumah sakit.

"Kan saya udah minum antihistamin. Saya sekarang selalu bawa obat itu kemanapun. Demi Bapak nih. Kali aja Bapak bakal nraktir saya seafood kan. Hehehe," lagi-lagi Haiva cengengesan.

Haris memandang Haiva dengan lembut. Gadis itu sengaja sedia obat kemana-mana, hanya demi dirinya?

"Bapak sendiri... " kata Haiva sambil menoleh pada Haris, "udah nggak alergi sama makanan murah dan makanan pinggir jalan?"

Haris tertawa lagi. "Kadang masih suka sakit perut atau mual juga sih."

"Sensitif banget ya pencernaan Bapak. Pasti dari kecil nggak pernah jajan cilok di depan sekolah ya?"

CERITA YANG TIDAK DIMULAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang