"Kamu merayu Randu supaya mau jadi pembicara, kenapa nggak merayu saya?"
Haiva dan Naya bengong sesaat, sebelum kemudian Haiva manyun dan Naya kembali cekikikan. Tumben-tumbenan Pak Bos bisa bercanda seperti ini.
"Hati saya rapuh, Pak__" jawab Haiva asal, "Takut ditolak."
Haris kelihatan tidak puas dengan jawaban Haiva. Tapi dia hanya diam saja.
"Emang kalau saya minta tolong, Bapak mau jadi pembicara di seminar itu? Saya pikir Bapak nolak jadi pembicara karena Bapak ada urusan lain hari itu."
"Siapa yang bilang saya nolak?"
"Bapak kan tadi____"
"Pikun kamu," sergah Haris cepat, "Kapan saya bilang saya menolak?"
Haiva diam. Kalau diingat-ingat lagi, memang Pak Haris tidak secara eksplisit menyatakan tidak bisa hadir sebagai pembicara. Haiva sendirilah yang mengasumsikan demikian ketika melihat respon Haris yang kelihatan kurang antusias dengan acara tersebut.
"Kalau gitu, Bapak mau ya jadi pembicara di seminar itu?" kata Haiva akhirnya. Meski tidak dengan nada merayu, Haiva berusaha menampilkan wajah manisnya.
"Apa untungnya buat saya?" jawab Haris, cuek. Dia menyesap pelan-pelan kopinya sambil memandang Haiva.
"Emmm..." Haiva balas menatap Haris. "Bapak bisa nostalgia di kampus kita Pak. Nanti saya temenin jalan-jalan di kampus deh."
Pak Haris memang alumni universitas yang sama dengan Haiva dan Naya. Dan beliau memang punya kebiasaan memprioritaskan alumni kampusnya saat merekrut karyawan baru. Itu mengapa kebanyakan anak buahnya adalah alumni dari kampus yang sama. Selain loyalitas kepada almamater, Haris lebih suka merekrut alumni kampusnya karena dia bisa mendapatkan referensi yang lebih akurat dari temannya yang menjadi dosen di sana tentang track record alumni tersebut.
"Tawaran Haiva tidak menguntungkan," jawab Haris tenang. "Bagaimana kalau Haiva traktir saya?"
Haiva menatap ngeri. Mengingat penyakit Haris yang pernah diceritakan Naya bahwa Haris mengidap Cheap-food Allergy, bisa dipastikan biaya traktir Haris mungkin mencapai seperempat gajinya sebulan.
"Aduh nggak kuat, Pak. Nanti kalau tanggal 15 saya jadi pengemis, gimana?"
Haris hampir saja tertawa mendengar alasan absurd gadis itu. Memangnya dia minta ditraktir gajah, sampai menguras gaji gadis itu? Tapi Haris menahan diri tidak tertawa, agar tetap nampak tak acuh dan berwibawa.
"Kasian sih Pak," celetuk Naya, "Kasian panitianya kalau harus nyari pembicara baru sekarang, pas waktunya udah mepet. Kasian Iva juga, badannya kurus kecil kayak gini, kalau nraktir Bapak bisa tambah kurus karena puasa setengah bulan, Pak."
Naya cengengesan sambil mengambil martabak lagi.
Haris masih memasang tampang dingin. Martabaknya sudah habis. Begitu juga kopinya. Tidak ada alasan lagi untuk dirinya berlama-lama di ruangan itu.
"Kalau saya menolak jadi pembicara seminar, itu karena Haiva tidak cukup berusaha membujuk saya," kata Haris sambil bangkit dari duduknya.
Haiva melongo. Mulutnya terbuka. Tapi ia segera menutupnya. Tapi kemudian ia ingin berusaha membela diri. Tapi dia tidak tahu harus berkata apa. Haiva jadi membuka dan menutup mulutnya beberapa kali. Persis ikan mas koki yang megap-megap keluar dari air.
Sebelum tidak bisa menahan tawa lagi melihat tampang Haiva yang megap-megap, Haris memutuskan untuk pergi saja dari ruangan itu.
"Saya kembali ke ruangan saya. Naya dan Haiva, selamat melanjutkan lembur," kata Haris. Kemudian ia melangkahkan kaki keluar dari ruang rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA YANG TIDAK DIMULAI
RomanceWORK SERIES #1 Aku selalu berandai-andai. Andai aku terlahir lebih lambat, atau kau terlahir lebih cepat. Apa kita bisa bahagia? First published on May 2018 Final chapter published on August 2020 Reposted on December 2021