O4. KERAGUAN

1.5K 161 24
                                    

Deru langkah kaki seorang gadis terdengar berirama santai. Rambut sebelah kirinya ditaruh cantik dibelakang daun telinga dengan sebuah earphone yang melekat indah. Gadis itu ialah, Pelangi Aeleashaa.

Tubuhnya seketika membeku dengan mata besar yang semakin terlihat dua kali lipat. Serupa patung hidup yang tertegun. Kakinya hendak melangkah tetapi ia seperti melekat pada lantai.

Wika yang sadar putrinya telah menapakkan diri di ruang makan, langsung mengalihkan pandangan matanya dari ponsel ke anak gadisnya itu. Matanya seperti mengisyaratkan pesan agar Pelangi mendekatinya dan duduk di meja makan.

Perasaan gadis itu sungguh campur aduk. Ada rasa bahagia namun dibalik itu juga ada sirat kesedihan dan terbesit keraguan. Kini ada satu hal yang pasti, Pelangi memantapkan hatinya untuk mengikuti perintah bisu Wika.

Terbesit memori perkara kemarin dalam kepalanya. Membuat rasa sesak seketika menyelimuti hatinya.

"Kenapa Papa ngelakuin ini?" Pelangi mencengkeran buku menu ditangannya lebih kuat dari sebelumnya. Ia masih tidak percaya dengan kelakuan Wika yang seolah peduli dengan kesehatannya. Padahal biasanya Wika tidak pernah peduli dengan kehidupannya dan mendadak peduli dengan kesehatannya. Suatu hal yang tidak masuk akal yang pernah ada dipikirannya.

Wika tak mengalihkan pandangan matanya namun jarinya berhenti bergerak. "Saya ingin memperbaiki kesalahan."

Alis Pelangi seketika bergelombang dan pandangannya langsung fokus pada Wika. "Maksud Papa?"

Wika meletakkan ponselnya dan menatap Pelangi dengan tatapan penuh penyesalan. "Saya ingin menerima kamu kembali."

Pelangi tersenyum miris mendengar kata-kata orang yang sangat ia butuhkan sejak Mama seperti orang yang ditelan bumi. "Jadi ini alasan kenapa Pela kayak nggak punya orang tua?"

Keduanya jelas sama-sama tersakiti kata-kata pihak lawan bicara. Mereka saling sibuk berteriak tidak terima dalam batin. Orang tua dan anak itu seperti saling tertusuk panah tepat mengenai hatinya. Hanya saja luka yang dihasilkan anak panah itu lebih melukai perasaan sang gadis.

Wika ingin sekali menolak kata-kata itu dengan tegas. Tetapi bak disambar petir, dirinya menutup mulut rapat-rapat. Ucapan Pelangi jelas tidak ada salahnya, semua tepat.

"Kenapa Papa diam?" ucap Pelangi setelah tahu ia tidak akan mendapat jawaban. "Semua ini benar kan?"

Wika diam beberapa saat, sedikit merasa bersalah. "Beri Papa satu kesempatan."

Pelangi seketika tersadar saat tangan besar seseorang menyentuh pundaknya. Kepalanya menoleh menatap laki-laki berwajah tua yang tiba-tiba di sebelahnya itu.

"Ayo makan."

***

Lagi-lagi mereka di dalam zona keheningan yang terasa canggung dalam perjalanan ke Sekolah Alpha Destiny. Namun kali ini anaknya yang berusaha memecah keheningan meski dengan kalimat yang sedikit menyakitkan.

"Papa nggak lupa kan sama sekolah Pela dan jalan untuk kesana?"

Wika terkekeh pelan. "Papa nggak selama itu pergi dari negara ini."

"Kenapa Pela nggak diterima sebagai anak, Papa?" Pelangi tidak berani menatap Wika dan mengaitkan kedua tangannya, cemas. "Apa Pela sebenarnya bukan anak, Papa? Atau Pela anak yang tidak diinginkan?"

"Opinimu salah semua."

"Lalu kenapa, Pa?" Suara Pelangi mulai bergemetar. "Pela butuh keterangan yang jelas."

Feels Far [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang