11

74.9K 3.1K 81
                                    

Hari ini ada Pelajaran Olahraga. Murid-murid kelas XI Social 1 tengah berbaris di teriknya matahari pukul 11 siang.

Tak sedikit dari anak perempuan mengeluh dan mencari banyak alasan agar tak ikut olahraga. Tapi Pak Hendra berkata, "Kalau gak ikut olahraga, yaudah. Bapak Alfa kan. Kecuali anak PMR bilang, beneran ada yang sakit."

Jahat, memang.

Barisan mereka mulai mengeluh dan bergumam pasrah saat Pak Hendra memerintahkan untuk berlari lapangan 10 putaran.

10 putaran bukan lah yang mudah. 'Gila saja, ini lapangan luas woi!' Batin semua anak XI Social 1

Lapangan luas plus matahari sudah berseri-seri seakan mengejek di atas penderitaan mereka.

"Pak! Kurangin, dong!"

"Iya, betul pak!"

"Bapak sadis, ah. Ini panas lho, Pak."

"Kata siapa dingin?" jawab Pak Hendra datar melihat murid-muridnya yang banyak mengeluh.

"Udah, cepetan lari. Atau mau saya-"

"KURANGIN, PAK? ASIIIK!" seru seseorang tak lain adalah Sandri. Dengan seenaknya dia memotong ucapan Pak Hendra dan di hadiahi pelototan tajam.

"Heh! Nyamber saja kamu. Mau, saya tambahin?"

"Jangan!" Serentak mereka berteriak dan menggeleng kuat.

"Ya sudah, buruan. Jangan ada yang pingsan." pesannya beranjak dari sana dan duduk di bawah pohon yang rindang.

'Gak adil!!!!'

Mau tak mau mereka mulai berlarian kecil memutari lapangan. Anak perempuan malas-malasan dan justru ada yang sambil mengobrol kecil, ada juga yang tangannya mengipas-ngipas, ada yang terlihat jalan namun dia membantah, ia berkata ia sedang berlari, ada juga yang wajahnya sudah merah dan mengumpat mengucapkan mantra-mantra tak baik.

Nah, anak laki-laki justru ramai. Memang ada yang sudah kelelahan, mengeluh, mengumpat, berhitung mengucapkan rumus, katanya agar 'Rasa capeknya gak kerasa karena udah capek ngitung di otak.' Ada juga yang sambil joget-joget, nyanyi seraya tertawa berbahak.

Begitu pun dengan Sandri, wajahnya sangat cerah, dia justru mengajak temannya agar balapan sampai 10 putaran terlebih dahulu. Tak lupa dengan cengiran khasnya dan tawanya yang meledak seakan mengejek saat melewati temannya yang wajahnya sudah tak berbentuk.

Apalagi jika melihat teman perempuan yang make upnya sudah mulai luntur, niscaya Sandri akan tertawa sekencang-kencangnya dan mengejeknya puas.

"Cevilla, lo cape, gak?" tanya Sandri yang berlarian di sebelah Cevilla.

Cevilla mendengus kesal. Pertanyaan yang bodoh. Apa kurang jelas jika wajah Cevilla sangat kelelahan? Dasar Sandri.

"Menurut lo?"

Dengan polosnya Sandri menggeleng. "Enggak cape." Membuat Cevilla menoleh dan melotot pada Sandri.

"Ini cape, bego!" umpatnya kesal dan di jawab cengiran oleh Sandri.

"Nah gitu dong. Kalau gue tanya tuh di jawab, bukan malah nanya balik."

"Yayaya. Terserah lo."

"Berapa putaran lagi?"

"Dua."

Sandri mengangguk. "Yaudah, gue sama anak cowo lain habis ini selesai. Semangat ya larinya, jangan pingsan, lho. Gue males gendong lo ke UKS, soalnya jauh, hehe..."

'Siapa juga yang mau di gendong sama lo?!'

Cevilla tak membalas dan tetap berlari meninggalkan Sandri yang sudah berhenti dan menghampiri Pak Hendra, melapor karena telah selesai menyelesaikan larinya.

Cevilla [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang