21

61.7K 2.9K 172
                                    

Pukul 19.15 WIB.

Gadis itu memakai hoodie kuning dan celana panjang hitam. Rambutnya di ikat ke belakang dengan poni tipis yang menutupi dahinya.

Lalu keluar kamar setelah mengambil tas selempang. Turun menuruni tangga dan menghampiri Sang Ibu yang tengah menonton televisi.

"Ma, Kakak keluar dulu sama temen," ujar gadis itu mendekat.

Mama mengangguk. "Pulang jangan lebih jam sepuluh, ya."

Gadis itu mengangguk antusias. Setelah mendapat salim dan izin, dirinya segera menuju pintu dan memakai sepatu putih polos.

"Assalaamualaikum!" serunya sebelum menutup pintu.

Mata Cevilla melihat satu mobil terparkir di depan gerbang. Bunyi klakson terdengar, membuat gadis itu melambaikan tangannya dan segera masuk ke dalam mobil.

"Lo lama banget," keluh Mocha yang baru saja melihat Cevilla duduk di sampingnya.

"Setidaknya gak kayak lo, yang makan waktu sampe setengah jam," jawab Sandri yang duduk di depan.

"Bela Villa teruuus," cibir Mocha, "Papa Angaaaa, Sandrinya gak adil nih!" sambungnya dengan cemberut.

Angga hanya tersenyum kecil dan mulai menyalakan mesin mobil. "Santet aja, makhluk macam Sandri halal, kok."

"Bangsat!"

Tawa kecil terdengar dari Mocha dan Cevilla. "Tuh katanya Halal, skuy lah!"

Cevilla mengangguk. "Angga, sebelum nonton kita ke tempat mbah dukun dulu."

"Woi, woi, woi, gila lo semua. Villa juga malah ikut-ikutan kan, dasar penghasut," cibir Angga menoleh ke belakang dan menunjuk ke wajah Mocha.

"Gue salah terus, su."

"Lo kan cowo."

"Ngaca woi, ngaca!" pekik Mocha tidak terima dirinya di sebut laki-laki.

Cevilla dan Angga yang menyimak tertawa kecil.

"Lagian, ngajaknya dadakan banget, mau pada kemana emang?" tanya Cevilla.

Mocha menyengir. "Pasar malam."

"Ngapain?"

"Nyari anaknya, Vill. Maklum Mahmud kehilangan anak- aw aw sakit-sakit, anjing!"

Dengan gemas Mocha menarik rambut Sandri dan menggoyangkannya dengan gusar.

"Heh! Itu mulut gak di sekolahin, apa?"

"Ngaca mbak, ngaca! Gak nyadar dirinya juga sering ngomong kasar?!"

"Nih kasar nih, kasar, puas lo, hah? Puas! Nih kasar!" pekik Mocha, masih menarik rambut Sandri.

Cevilla tertawa melihatnya. "Udah lah, Cha. Kasian Sandri."

Baru lah Mocha mengalah mendengus kesal. "Mampus tuh sakit," ketusnya dan bersandar ke belakang.

"Titisan anak maung mah gini, jambakannya juga ngeri, broh," gumam Sandri mengusap kepalanya.

"Bisa diem, gak?" tegas Mocha.

"Iya, iya."

Akhirnya Sandri diam. Berdehem menatap ke depan, lalu membalik. "Eh pas-"

"DIEM! JANGAN NGOMONG LO!" teriak Mocha membuat Sandri terkejut dengan mulut terbuka.

Sandri mengusap dadanya dan mengusap air mata yang tidak keluar sama sekali. "Astagfirullah... jahat banget kamu. Baru juga aku mau ngomong."

Cevilla [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang