22

60K 2.8K 138
                                    

Lima hari telah berlalu.

Cevilla masih gengsi untuk sekedar memberi pesan pada Afga. Lagi pula  sampai kini juga Afga belum memberinya pesan.

Rindu? Sudah jangan di tanya. Jawabannya pasti iya, sebelumnya Cevilla dan Afga belum pernah saling diam sampai lima hari.

Cevilla menjalani kehidupan sehari --hari seperti biasa, sekolah, mengobrol, menyimak saat kelas jamkos (Karena sudah ujian, selalu jam kosong selama satu minggu full kecuali yang dapat remedial) lalu istirahat, di jaili Sandri, mengobrol dengan Angga, lalu pulang. Memasak untuk dirinya, Galang dan mamanya. Ikut nimbrung saat Kevin dan Galang ada di rumah. Setelah itu membaca novel atau menonton televisi, kemudian tidur.

Siklus sehari-hari Cevilla hanya seperti itu. Hatinya memang tidak tenang, namun sekuat mungkin harus tenang.

Rindu menyelimutinya setiap ingin tidur. Memikirkan pacarnya yang seharian ini di sekolah tidak bertemu, sedang apa, dan hal lainnya.

Menghela nafas, kemudian hanya diam. Menutup mata dan berharap besok ada perubahan, dan rindunya terbayar. Andai.

**

Malam selanjutnya.

Cevilla keluar dari Minimarket menjinjing satu kresek putih dan tersenyum formal pada mbak kasir.

"Silahkan datang kembali."

Lalu keluar dan matanya melihat seseorang yang ia kenali. Tengah duduk di depan Minimarket.yang memang selalu di sedia kan. Dengan minuman soda dan rokoknya.

Kebulan asap itu tercium dan pria itu tengah sibuk memainkan ponselnya.

Kaki Cevilla melangkah mendekati "Angga?"

Angga mendongak dan menoleh. "Oh, Villa."

Cevilla langsung duduk di hadapan Angga tanpa izin. Karena entah kenapa, sekarang Cevilla sudah tidak ada perasaan enggan pada Angga. Dia juga tidak takut. Justru ia ikut terhibur saat Sandri dan Mocha menjaili Angga. Cevilla tidak menyukai Angga, tapi juga tidak membencinya. Ia sudah menganggap Angga sebagai teman. Begitu pun sebaliknya.

Angga memperbaiki duduk dan menyimpan handphonenya diatas meja. "Gue boleh ngerokok depan lo, nggak?"

"Gue rada gak suka sama asapnya."

Angga mengangguk dan mematikan rokok.

Lalu meneguk minuman soda dinginnya. Begitu pun Cevilla yang membuka botol minuman yang baru saja ia beli dan meneguknya sedikit.

"Habis jajan?" Tebak Angga melihat kresek putih di atas mejanya milik Cevilla.

Cevilla mengangguk. "Lo sendiri kenapa di sini?"

"Nyari angin aja. Males di rumah." Cevilla mengangguk lagi.

Lalu mereka berdua diam. Beradu pikiran di masing-masing otaknya. Tentu saja dengan masing-masing masalahnya.

"Hah...." Helaan nafas terdengar dari kedua anak tersebut.

Keduanya saling menatap lalu terkekeh kecil. "Lo kenapa? Ada masalah?" tanya Cevilla.

Angga mengangkat kedua bahunya. "Bodoamat, Vill. Bingung gue mau cerita darimana juga." Cevilla tertawa kecil.

"Lo sendiri kenapa? Gak punya duit?"

"Buset, tajem banget ucapan lo," cibir Cevilla, "Sebenarnya, ini masalah Kak Afga," sambungnya.

Mata Angga menatap intens mata Cevilla seolah menunggu lanjutan ceritanya.

"Gue udah gak chattan sama Kak Afga selama enam hari."

"Putus?"

Mata Cevilla melotot. "Astagfirullah, kalau nanya gak di saring dulu."

"Gue gengsi buat chat dia duluan. Sebenarnya, ini tuh terjadi karena waktu itu gue kesel karena Kak Afga ga bisa ketemu pas gue ajak ketemuan. Padahal saat itu, gue mau minta maap karena sebelumnya bentak-bentak dia." Lalu meneguk minumannya.

"Masalah sepele," sahut Angga santai.

Cevilla menajamkan matanya pada Angga. "Argh... Gue itu bingung, Ngga. Bingung mau minta saran sama siapa, bingung harus ngapain, bingung cerita ke siapa! Gue gak tau kalau jalin hubungan backstreet senyesek ini. Dan lo malah ngasih jawaban yang buat kekesalan makin nambah," gerutunya. 

"Lo bisa lewatin ini, Vill. Gue tau, lo kuat."

Ceville mandongak lalu tersenyum miris, "Makasih, Ngga."

"Terus gue harus gimana, Ngga? Jujur, gue rindu dia. Gue kangen banget sama dia. Apalagi bentar lagi aniv kita yang ke tiga bulan." Cevilla memejamkan matanya sebentar lalu kembali membukanya.

"Tapi ... gue juga cape..." lirihnya dengan nada pasrah dan lelah.

"Gue capek terus-terusan di buat cemburu. Gue cape nahan sakit hati liat Kak Afga berduan sama Kak Nessa. Gue berusaha sabar selama ini, nahan cemburu dan nahan nangis itu gak gampang, Ngga! Lo tau? Setiap gue liat Kak Afga sekedar boncengan sama Kak Nessa doang, itu rasanya sakit. Gue sendiri yang jadi pacarnya gak pernah tuh sekali pun di anter pulang. Kadang gue mikir, yang jadi pacarnya Kak Nessa atau gue sih?" cicitnya dengan suara bergetar.

"Gue rindu. Tapi capek juga. Gue harus gimana, Ngga?" tanyanya dengan mata lelah.

Angga yang dari tadi menyimak merasa tidak tega melihat temannya tersakiti. Tapi ia juga sangat payah memberi saran arau metivasi.

"Gue gak tahu saran gue bisa bantu atau enggak. Tapi menurut gue, mending lo chat dia lagi. Minta ketemuan dan jujur. Kalau selama ini lo tersiksa-"

"Kak Afga gak jahat, Ngga. Guenya aja yang lemah." 

Angga tertegun mendengar ucapan Cevilla. Masih sempat-sempatnya Cevilla membela Afga walau dirinya sudah di jatuhkan beberapa kali. Cevilla tulus, itulah pendapat Angga saat melihat keadaan Cevilla saat ini.

Cevilla sangat menyayangi Afga. Tidak tega untuk memberi saran tinggalin Afga.

Angga mengangguk. "Ikuti kata hati lo. Lo gak salah, lo korban di sini. Pilihan bukan di gue. Tapi di diri lo sendiri, Vill. Gue percaya, pilihan lo itu yang terbaik untuk ke depannya," ujar Angga tenang.

Cevilla menatap mata Angga lekat yang kemudian keluar cairan bening, dia menangis. Meluapkan semuanya di malam itu di hadapan Angga. Serasa melepas beban ketika sudah bercerita pada Angga. Karena yang tahu tentang hubungannya hanya Angga. Sampai sekarang pun hubungannya masih tertutup rapat.

Cevilla lega. Dapat melepas bebannya malam itu. Walau yang Angga lakukan hanya diam, meneguk soda, dan mengambil cemilan Cevilla, saat gadis itu menangis.

~Cevilla~

21 November 2019
Revisi : 05 April 2020

Ku tunggu notif VOTE dan KOMENTAR dari kalian, hihi..

See you!

Cevilla [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang