Sebagian dari Audrina bersorak-sorai sinis karena OLA akhirnya berhasil menyingkap eksistensinya, meskipun ia sadar mereka akan melacaknya cepat atau lambat, tetapi ini adalah rekor terlama dalam pengeksplorasian seseorang. Satu, menuju dua purnama terlewati. Cukup lama sehingga membiarkan sisi lain Audrina meratapi sekelumit masa lalu yang membuatnya berada di posisi sekarang.
Dengan kepala tertunduk rendah, netra meneliti sepasang sepatu balet arkais yang tergeletak di atas pangkuan, Audrina mampu merasakan memori-memori tak diundang mengusik jiwanya sekali lagi. Terlalu banyak, kelam dan masai.
Perjuangan berat untuk bertahan hidup, mengubur intensi untuk melarikan diri demi memeluk Steven Lind di akhir cerita. Awalnya, Audrina sempat berpikir bahwa itu bukan sebuah masalah jika mortalitas yang akan mereka hadapi, setidaknya ia mati bersama anggota keluarga terakhir, tetapi saat itulah seakan-akan kepalanya terpukul keras. Karena jika mereka berdua mati, tidak ada yang akan membalas kematian Margaret, Althea dan Aleena.
Dan ia tidak bisa hidup tenang dengan urusan yang belum terselesaikan, dendam yang belum tersalurkan, bahkan di akhirat sekalipun.
"Audrina..." Namanya mengalir keluar dari bibir sang pria, menyebabkannya bergidik singkat. Terdengar sempurna di telinga, halus dengan segudang pertanyaan tersembunyi. Tangannya mengepal mengingat ia harus menjelaskan apa maksud dari semua ini ketika Seokjin bertanya, "Apakah ada hal lain lagi yang kau sembunyikan?"
"Ada."
"Well, ini waktunya untuk mengatakan itu."
Audrina menggelengkan kepala tidak setuju. "Aku tidak bisa."
"Sampai kapan?" tanyanya jengah, memugar surai dengan beringas. "Dengar, setiap orang memiliki batas. Aku sangat menghargaimu, O, bahkan sama sekali tidak ada niatan untuk membongkar kehidupanmu di masa lampau. Dan Our Lady Angels? Belum. Aku belum mencari tahu apa itu. Tidak ingin, karena aku berasumsi tempat itu adalah sumber penderitaanmu."
"Semakin sedikit kau tahu, semakin baik," Audrina menyela tiba-tiba, memotong argumen guna mengembalikan suasana seperti sedia kala sebelum semuanya terlambat.
"Tidak bisakah kau melihat bahwa aku bosan dengan bualanmu? Aku ingin tahu, hanya itu," tuturnya getir, dada terhempas naik-turun.
"Kenapa?"
"Karena aku peduli!" bentaknya, kedua netra memicing tajam, berkaca-kaca karena sakit hati dan putus asa, semua jejak amarah melebur dalam sentimen itu. Satu sekon kemudian, ia menarik napas dalam-dalam dan berdeham, suaranya melunak, "Aku hanya... aku m—merasa harus melakukan sesuatu untukmu. Tapi, kau tidak bisa terus menerus membiarkanku di kegelapan. Jika kau tidak ingin mereka mengambilmu dariku, itu artinya aku harus paham dengan situasi ini agar aku bisa melindungimu."
"Kau ingin mati?" Audrina hampir meringis mendengar kerapuhan implisit di balik riak suaranya kala ia memandangi kaki, enggan bertemu iris yang penuh permohanan itu. "Beberapa bagian merupakan rahasia karena sebuah alasan, Seokjin. Dan aku merahasiakan bagian itu karena taruhannya adalah nyawa."
"Tunggu. Biar aku luruskan," respons si pria, satu hela napas kasar mengikuti. "Jika aku melepaskanmu, aku hidup. Tapi, jika aku membiarkanmu tinggal—"
"Kita berdua mati."
Seokjin mendengus frustrasi. "Mengapa seseorang harus selalu mati dalam skenario ini?"
"Karena begitulah cara Mother menyelesaikan permainan," ujar Audrina pahit tatkala satu senyuman palsu mengukir labium. "Hanya... percayalah padaku. Dan mungkin, bunuh aku."
Seokjin tersentak kaget sebelum menunggu sejenak, bertanya-tanya apakah mungkin Audrina akan mengatakan sesuatu, menarik kembali dua kata terakhir, tetapi tidak. Yang Audrina lakukan hanyalah memandanginya, ekspresi segan dan kalut memahat fitur wajah. Seokjin paham dengan definisi mimik tersebut, wanita itu serius dengan perkataannya, sangat serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aegis
Fanfiction❝She's contagious, a sickness I'm dying to catch.❞ ──────────── Kim Seokjin • Female OC © yourdraga 2019