Aegis

28 - Soul Brother

Keheningan merupakan sesuatu yang kau cari tatkala pelik mulai merambah cakrawala, melepaskan penat dan memberikan kesempatan pada harmonis merengkuh gravitasi selagi rehat dari siklus brutal alam semesta. Tidak efektif, tetapi itu sudah cukup untuk merampasmu dari realita yang ekstrem.

Dulu, Jung Hoseok pernah menggemari hening lantaran Bumi yang membisu kerap mengantarkannya kepada memori sang Ibu, beberapa tahun jauh sebelum sengsara memagut raga, kendati dia harus mengonfigurasi ulang bagaimana alur akan berakhir.

Hanya saja terkadang, keheningan itu sungguh nyaring hingga memekakkan telinga dan merundung benak.

Hoseok tidak pandai dalam menyalurkan pikiran serta sentimen kepada siapapun, mungkin disebabkan oleh kombinasi dari rasa malu dan takut, yang kemudian mendorongnya untuk memilih opsi alternatif dan bersembunyi di balik persona hipokrit.

Banyak orang mengatakan sukacita merupakan tafsiran dirinya, epitomi Phoebus berjalan ketika faktanya, Hoseok sekarat di dalam, redup sebab kegelapan memenuhi setiap celah serebrum. Dia tidak bahagia, tidak sama sekali. Tidak sesaat petang datang, semilir siklon mengalunkan impresi atas kesalahan dan kekurangannya secara subversif, ragam alasan mengapa wanita paruh baya itu meninggalkannya.

Sampai secercah harapan menemukan jalan kepadanya lagi.

Satu dekade lalu, saat musim semi berakhir dan Hoseok tengah berjuang melawan depresi, dia bertemu dengan Taehyung di sebuah toko kelontong, sedang berdebat sendirian apakah dia harus menggunakan uangnya untuk membeli hamburger atau hanya menyerahkannya kepada Seokjin demi meringankan biaya sewa apartemen. Si pemilik senyum kotak tampak sangat berkonflik, dan Hoseok memutuskan mungkin itu bukan sebuah deviasi membelikannya satu makanan cepat saji tersebut.

Hanya sesederhana itu persahabatan mereka dimulai, berkembang menjadi sesuatu yang tidak pernah Hoseok bayangkan akan terjadi lagi pada dirinya. Ketiga individu tersebut berhasil mengambil alih atensinya agar tidak terpaku pada blunder masa lalu, memberikan kehangatan dan afeksi yang sempat terhilang, sebuah rumah untuk pulang.

Namun, persoalannya adalah, semenjak hari itu, Hoseok selalu menjadikan mereka sebagai jawaban—solusi atas agoni, seperti adiksi yang membuat dirinya tersesat ketika mereka tidak hadir di sekitarnya. Tanpa ketiganya, Hoseok menjadi putus asa, kehilangan arah, dan tidak berdaya.

Hanya itu yang diperlukan Diana Kirova untuk mengundang diri sendiri masuk ke dalam galaksi gelita Jung Hoseok.

"Manusia merupakan satu-satunya spesies problematis. Saling menyiksa demi kepentingan mereka sendiri. Kita berkelahi, saling menyakiti dan mematahkan hati, atau... meninggalkan satu sama lain," tutur Diana rendah, seulas senyum sinting mengukir birai berlapis rona merah marun. "Aku dapat menyingkirkan itu, agoni yang kau rasakan. Aku mampu melindungimu dari rasa sakit, bahkan dari dirimu sendiri."

Ekshalasi kasar menguar dari nostril, menyemburkan hingar-bingar ke seluruh penjuru ruangan semerdanta sementara Hoseok menggeliat di bawah cais yang memenjara tubuhnya, berupaya keluar agar bisa kembali ke rumah.

Ya, dia memang menyimpan intensi untuk meninggalkan Seokjin, Yoongi dan Taehyung karena berpikir dia telah memperlambat mereka guna mencapai tujuan, menjadi batu sandungan untuk masa depan mereka, tetapi Hoseok tidak meminta ini.

Permukaan kulit terhubung dengan alat-alat asing selagi bersemayam di atas kursi kutukan, Hoseok mencoba menyerap apa maksud perkataan Kirova, tetapi demi Rahib Menangis, dia gagal membuat otaknya berfungsi secara adekuat. Sepukal perlambang perihal menyingkirkan rasa sakit adalah satu hal, namun melupakan memori tentang Ibu dan ketiga sahabatnya?

Itu sama saja dengan kehilangan nyawa.

"Apa yang membuatmu berpikir... menyiksa, mengambil kenangan, terlebih mengendalikan seseorang dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik?" tanya Hoseok melalui gigi terkatup, kedua tangannya mengepal menahan sakit pada pergelangan serta pening yang merangkak sengit di kepala.