Epilogue

392 32 14
                                    

Bagi Kim Seokjin pekerjaan paling tidak menyenangkan adalah menunggu.

Menunggu sif selesai, istirahat makan siang, ramyeon matang, hotel sepi, panggilan video dari orangtua, atau hanya menunggu kosmos melambat. Oke, yang terakhir agak berlebihan. Namun sesungguhnya, ada begitu banyak yang Seokjin tunggu hingga dia tidak tahu persis apa yang dinantikan.

Sudah satu tahun berlalu sejak dunia berada di ambang apokalips, atau bisa dikatakan Perang Dunia ke-III? Hampir. Sebab rupanya, sebelum intensitas nuklir menaklukkan Rusia, pemerintahan negara tersebut telah dievakuasi terlebih dahulu oleh Diana.

Konyol sekali. Ya, dari awal memang rencananya tidak pernah membatu di satu matriks, tetapi siapa yang percaya bahwa wanita penuh ambisi untuk menguasai dunia sebenarnya mengantongi sisi absolusi? Atau mungkin dengan bodohnya, Diana berpikir bahwa apabila dia tidak membantai mereka semua, ada satu ruang tersedia di atas sana untuknya.

Miris. Diana secara harfiah telah mereaktifkan gehena, dan lalu dia berharap mendapatkan nirwana sebagai imbalan? Entah itu kebodohan, atau hanya dirinya yang benar-benar sudah hilang akal.

Kembali ke spekulasi Perang Dunia III, jikalau hari itu Audrina tidak berhasil menghentikan Diana, kemungkinan besar dia akan mengkambinghitamkan negara-negara yang termasuk dalam katalog genosida untuk melawan Amerika lantaran keempat Eirene IV diciptakan di Area 51, sebelum kemudian didistribusikan ke negara tertentu lewat jalur laut.

Tidak perlu seorang jenius untuk mengutarakan bahwa semuanya akan menjadi lebih buruk seandainya Audrina tidak memperbaiki situasi dan mengorbankan dirinya sendiri.

Audrina, Audrina, Audrina.

Seokjin menghela napas, menyandarkan tubuh ke kursi sembari menyugar surai ke belakang. Nama wanita itu tidak henti-hentinya menggema di setiap jengkal neuron, melantingkan lagi dan lagi raga ke masa lalu yang seharusnya dapat dituntaskan dengan cara berbeda.

Bagaimana Seokjin bisa melupakan jika seisi kota Queens meneriakkan memori kebersamaan mereka? Ya, momen mereka memang tidak banyak dan sebentar, tetapi itu tetap sangat mengesankan baginya, varietas impresi yang akan berdenging selamanya di dalam benak.

Seokjin mengingat dia sangat menderita selama tiga bulan pertama. Itu merupakan hari-hari yang dihabiskan di tempat tidur seperti sirkulasi menyesakkan di mana dia tidak bisa dan tidak ingin melakukan apapun, di mana dia sangat enggan untuk bangun bahkan hanya demi buang air kecil sehingga mengalami infeksi ginjal dan harus dibawa ke rumah sakit.

"Tolong, berhenti menyiksa dirimu sendiri, Nak," ujar Nyonya Kim lembut selagi mengupas apel. "Ibu mungkin tidak sepenuhnya memahami perasaanmu, tapi melihatmu seperti ini sangat menyakiti hati Ibu."

Terlepas dari seluruh kehilangan dan kemalangan, Seokjin sungguh bahagia mengetahui orangtuanya baik-baik saja. Hal terakhir yang dia inginkan adalah mereka mengetahui bahwa dia juga merupakan bagian dari pertempuran di New York. Sudah sangat menyedihkan untuk mengingat apa yang terjadi, apalagi membiarkan Nyonya dan Tuan Kim tahu bahwa Seokjin hampir mati beberapa kali lantaran terlibat dalam konflik konfidensial.

Meski begitu, Seokjin tetap harus berbohong tentang Audrina. Tentang Luisa, Jihoon, dan Jaehyun, menyampaikan bahwa mereka adalah salah satu korban tragedi Desember. Itu tidak sepenuhnya salah, 'kan? Sebab mereka memang korban egosentrisitas Diana Kirova.

"Tidak, Bu. Tidak seperti itu." Seokjin memejamkan mata, perlahan menarik napas dan menghembuskannya, lalu menyahut lirih, "Bukan perihal aku menyiksa diri atau tidak, melainkan fakta bahwa suatu hari nanti, tidak peduli seberapa keras aku melawan, aku akan melupakan bagaimana rasanya mencintainya."

"Bukankah itu yang diinginkan mayoritas orang setelah kehilangan? Melupakan... bukankah itu yang terbaik demi diri sendiri?"

Seokjin tersenyum tipis, netra deragem terekspos tanpa emosi, menatap kosong ke langit-langit yang prosais. "Tidak denganku."

AegisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang