Chapter 23

1.1K 132 147
                                    


Kim Jongdae, ia berhasil melewati malam singkatnya dengan bantuan suntikan bius penahan rasa sakit. Semalam sakit di dada dan perutnya seolah bersaing untuk membunuhnya. Namun beruntung, dokter menanganinya walaupun sedikit terlambat.

Meski begitu, Jongdae sama sekali tak merasa bahwa tubuhnya membaik bahkan dadanya masih terasa sakit. Rasanya seperti berjuta besi panas nan runcing sedang menghujaninya. Ini bukan karena penyakitnya melainkan karena pernyataan ayahnya semalam-bahwa beliau akan melepaskan Jongdae dari agensi yang menaunginya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia tidak akan mampu meninggalkan kedelapan saudaranya begitu saja, bukan? Apalagi secara sepihak.

Jika boleh jujur, Jongdae sangat membenci keputusan ayahnya. Ia ingin tinggal lebih lama bersama member sebelum catatan hariannya tertutup rapat. Ia ingin membereskan semua kekacauan yang terjadi sebelum takdir benar-benar merenggutnya. Bisakah ia? Jika melihat situasi saat ini, Jongdae semakin frustasi.

"Jongdae-aah, lusa kita akan meninggalkan Korea"

Wanita setengah baya yang sedari tadi mengusapi Surai Jongdae akhirnya bersuara. Mengamati anaknya yang asyik melamun sungguh merupakan hal yang tak mengenakkan. Pasalnya beliau hanya mendapati garis lelah, frustasi dan kekecewaan di dahi anaknya. Kemana perginya senyum ceria Jongdae? Wanita setengah baya itu sangat merindukannya.

"M-meninggalkan Korea?"

"Em. Kau akan mendapat pengobatan yang lebih baik disana" Jongdae menatap nanar pada Nyonya Kim. Haruskah ia mendapat berita buruk diakhir hidupnya?

Jongdae kembali melamun.

"Kita juga akan menetap disana. Bukankah Berlin akan menjadi kota yang indah untuk memulai hidup barumu, Dae?"

Jongdae terperanjat. Tangannya yang terbebas dari slang infus menangkap tangan Nyonya Kim dengan hati-hati. Ia memeganginya sebentar lalu menyingkirkan tangan keibuan itu. Nyonya Kim menunduk dalam. Ia mengerti bahwa keputusan ini sangat sulit diterima putranya.

"A-aku punya delapan saudara d-disini, Eomma" lirihnya sembari menerawang ke langit-langit.

"Tidak bisakah aku tetap disini? J-jika kalian ingin pergi, m-maka pergilah. T-tapi- kumohon, Eomma. A-aku ingin menghabiskan hidupku disamping mereka"

"Kau bicara apa, sayang. Kau akan sembuh. Jangan bicara seolah-olah kau akan meninggalkan Eomma"

Jongdae memejamkan matanya, menggigit bibirnya lalu memegangi perutnya. Ia ragu tentang kesembuhannya, sungguh.

"E-eomma, b-bahkan aku tak yakin jantungku masih bekerja di tanggal 21 September"

"Jongdae-aah, tolong jangan mengucapkan kalimat menyakitkan seperti ini" Nyonya Kim merasakan sesak di dadanya. Ibu mana yang sanggup mendengarkan penuturan tak masuk akal dari anaknya?

Jongdae lantas menerbitkan garis senyum lelahnya. Matanya yang layu itu seolah berkata bahwa dia memang akan mati besok. Tidak ada waktu lagi untuk memperbaiki diri atau sekedar memulai kehidupan baru. Ia hanya ingin satu hal saja - meminta maaf pada kakaknya yang belum pernah ia temui pascakecelakaan.

"Permisi"

Dari arah pintu, seseorang berseragam putih dengan stetoskop yang mengalung cantik berjalan mendekat. Jongdae membuang muka-ia bosan dengan segala cairan yang akan dokter itu masukan kedalam tubuhnya melalui jarum suntik sialan.

"Maaf, Dok. Tapi bukankah Anda bukanlah dokter yang menangani anak saya?" Sayup-sayup terdengar keraguan dari Nyonya Kim. Jongdae tak tertarik sama sekali. Ia memilih memejamkan matanya.

"Ah, maaf tidak memberitahu anda, Nyonya. Dokter Kang sedang ada jadwal operasi jadi beliau meminta saya untuk mengontrol semua pasiennya"

Jongdae tiba-tiba saja membuka matanya. Ia seperti tak asing dengan suara dokter itu. Intonasi lembut yang sedikit teredam oleh masker, Jongdae sedikit tertarik untuk memasang mukanya kembali. Kepalanya menoleh kearah sang dokter lalu ia mengamati dengan seksama.

September || Kim JongdaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang