Chapter 31

570 60 89
                                    


Malam sudah terlalu larut. Namun dua pasang mata enggan menutup. Mereka terlalu takut. Takut akan takdir yang tak mau memihak kepada pria lemah yang tak bisa lagi direngkuh. Air mata mereka yang ingin sekali bersaing keluar dari obsidian layu, tertahan karena kemungkinan terburuk yang sudah diujung tanduk.

Ditampar oleh kenyataan bahwa adiknya semakin hilang harapan, tak sedetikpun Minseok melepaskan genggaman. Ia tak mampu berucap. Hanya bisa memberi tatapan takut di setiap jengkal ekspresi kesakitan yang Jongdae perlihatkan.

Apa sakit sekali, Dae? Ingat, kau selalu bangga pada dirimu yang sulit menangis. Tapi sekarang, air matamu tidak bisa berhenti.

Minseok mengusap cairan bening yang turut jatuh dari pelupuk mata Jongdae. Pertahanannya hampir purna tatkala menyaksikan kelopak indah itu terpejam menahan lukisan lara.

Apa kau tau, Dae. Dulu Hyung sangat iri dengan mata mu yang selalu terlihat ceria dan cantik. Tapi saat ini, Hyung benar-benar membenci keduanya. Mereka sangat handal mengekpresikan rasa sakit mu.

Senyum Minseok terbesit miris. Netra Jongdae semakin meredup setiap detiknya. Ia sangat takut jika sewaktu-waktu netra itu padam dan takkan bisa kembali dinyalakan.

Ia belum siap.

Tuhan, Aku tau Jongdae akan semakin tersiksa jika ia bertahan, namun bisakah Engkau menahannya sebentar saja? Setidaknya sampai kami bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-28.

September baru saja tiba. Sedangkan Jongdae sudah selemah ini. Minseok sangsi, namun ia tak akan berhenti memohon pada Tuhan. Ia ingin melihat Jongdae tersenyum di hari ulangtahunnya. Meski itu adalah senyum terakhir adiknya.

"Minseok Hyung"

Suara Kyungsoo memecah keheningan. Pemuda yang berdiri di samping Minseok itu menepuk bahu Minseok. Ia menggeleng tatkala kakaknya menoleh kearahnya dengan pertahanan yang hampir pecah. Obsidian Minseok mengembun.

Minseok pun paham akan arti gelengan itu. Ia mengangguk lemah sembari memaksakan diri untuk tersenyum. Kesepakatan yang dibuat sebelumnya memaksanya agar bersikap tegar. Ia harus menahan tangisnya supaya tidak menyakiti perasaan Jongdae lebih dalam lagi.

"Kyungsoo-aah, apa Chanyeol dan Jongin belum sampai?" Minseok merubah fokusnya. Ia bermaksud agar pertahanannya tak pecah di hadapan adiknya.

"Mereka masih di jalan, Hyung. Jongin bilang, Baekhyun tak henti meracau dan sedikit berhalusinasi"

Mendengar nama Baekhyun disebut, ada rasa penasaran yang menyelundup masuk kedalam ruang sempit yang sudah penuh oleh rasa sakit. Jongdae membuka obsidian sayu-nya sedikit demi sedikit.

"Ku dengar Baekhyun mengalami depresi berat setelah kejadian itu, Jongdae-aah" Jelas Minseok tatkala peka dengan mimik bingung Jongdae.

Jongdae menoleh pada Minseok dengan gerakan yang sangat kaku. Tatapan sayunya berhasil mengiris hati Minseok hingga hancur menjadi partikel-partikel kecil. Minseok pun mengelus rambut adiknya sambil sesekali mengusap jejek air mata yang tersisa.

"Kau pasti mengkhawatirkannya, kan? Dia akan baik-baik saja, Jongdae"

"Tidak sepertimu yang mungkin sebentar lagi akan meninggalkan kami" lanjut Minseok dalam hati.

Minseok tidak bisa mengikhlaskan. Hatinya bertubi-tubi bertambah sakit tatkala memikirkan takdir yang seolah tidak adil. Kenapa tidak Baekhyun saja yang mati? Kenapa mata sayu milik adiknya lah yang harus pergi? Kini, getaran bibir Minseok ia tahan mati-matian. Selekat mungkin, ia tak bisa melepaskan tatapan miris itu dari sorot Jongdae yang bercerita perihal perih di hatinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

September || Kim JongdaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang