Ambisi

4.3K 391 525
                                    

BACA DALAM-DALAM, SIMPAN KE PERPUSTAKAAN ❤✔






"SERIUS!"

Adel mendorong kening Safira, wajahnya terlihat sangat dekat. Bahkan dia bisa mendengar deru napasnya. Jelas, di menunjukkan wajah cemberut dan kesal.

"Ngapain lagi sih lo harus PDKT sama itu cowok galak. Lebih baik, lo PDKT-nya sama cowok yang lebih bermanfaat," kesal Safira, merapikan rambutnya yang berantakan.

"Terserah aku lah! Ini hidup siapa?" sewot Adel. Jangan harap dua sahabat itu di pertemukan akan bergosip ini lebih tepatnya saling mengejek atau saling memberikan wajengan.

"DI DUNIA INI BANYAK COWOK! NGGAK HARUS DIA JUGA KALI!" teriak Safira keras, dia menarik kuat Adel membawanya ke sisi balkon.

Tidak ada yang menarik perhatiannya. Hanya ada beberapa anak cowok yang bermain futsal. Adel bertopang dagu sementara Safira mulai mengoceh tanpa henti.

"Itu banyak cowok ganteng plus kaya." Safira menunjuk-nunjuk ke lapangan.

"Matre."

"Gue bukan matre."

"Sama aja."

Tarik napas hembuskan. Jangan sampai dia harus berteriak lagi. Rasanya suaranya entah sudah pergi kemana.

"Lo cantik, Adelia Sayana Putri." Setiap kata Safira menekankan katanya bahkan mukanya sudah memerah.

Gadis itu mengibaskan rambutnya, kedua netranya lebih dalam menatap lapangan.

"Iya aku tau. Sekarang juga banyak yang naksir, tapi sayangnya aku sekarang cuma dengan satu cowok yang harus di perjuangkan," sahut Adel santai.

"Oke, gue kalah." Safira mengangkat kedua tangannya ke udara. Lalu berbalik, tak lama matanya memicing melihat cowok yang sedang melambaikan tangan ke arah mereka berdua.

"Sampai kapan, Fir. Kamu gak peka kalo Veron itu suka, cinta, dan sayang. Sama kamu. Atau mungkin sampai dia mati, karena nungguin kamu yang tidak ada kepastian," ucap Adel menatap lurus ke depan.

"Dia suka sama lo, jelas bukan gue. Jangan menyangkal. Lo udah tau kan, gue udah punya pacar." Safira menepuk jidatnya. "Mana mungkin Veron suka sama gue. Dia suka sama lo, bego!" sambungnya gregetan.

Adel tertawa keras menggelengkan kepalanya heran. Ini lebih sering di sebut cinta segitiga. Yang dia saja hanya mencinta seorang cowok versi galak.

"Aku itu gak mau punya pacar tapi suami," bangga Adel menepuk dadanya.

Safira memutar bola matanya malas, dia tertawa hambar turut prihatin dengan kepolosan Adel yang sudah memuncak. Apa perlu sekarang dia harus meruqyah sahabatnya? Memang harus.

Adel menarik kursi plastik yang di samping pintu kelas, lalu mendudukinya. Bisa patah kaki jika tidak duduk.

"Lo kagak ada niatin mau bagi kursi itu dari gue? Kaki gue penat banget dari tadi berdiri terus," protes Safira.

Adel mengerjap dua kali.

"Kursi yang mana?"

"Yang lo dudukin itu, bego!" Seketika darahnya naik, apa ini yang namanya karma. Lupakan--- dia tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. Bukan duka, tapi terlalu konyol untuk di ingat.

Boleh gak sih tembok yang ada di sisinya Safira gigit tempat pelampiasan hidup terlalu menderita?

Safira menarik kursi yang di duduki Adel secara paksa untuk menghadapnya. Adel yang kaget hampir oleng, jatuh ke belakang sebelum Safira memegang kedua tangannya sambil menatapnya sendu.

"Gue pengen bicara! Kali ini pliss ... jangan ada bercanda," kata Safira tersenyum lembut.

Adel berdehem samar, mulai tidak enak dengan suasana lantai 2 padahal di koridor setidaknya banyak murid yang berlalu lalang.

"Mau bicara apa?" tanya Adel kikuk.

Gadis yang selalu berkucir satu itu meraih tangan Adel. Ya, tekadnya untuk menyadarkan sang sahabat sudah di ubun-ubun sebelum ada kata terlambat. Penyesalan itu ada di akhir.

"Gue mohon banget... sama lo, Del. Mulai sekarang jauhin yang namanya Rizky. Siapapun yang ada namanya Rizky! Penjual bakso kek, tukang kebun kek, tukang ojek kek. Yang pasti ada namanya Rizky," ucap Safira nanar.

Adel mendengus kuas, mendorong pelan tubuh Safira untuk menjauh. Apa yang salah darinya? Dia cinta mati dengan sosok laki-laki seperti Rizky pertemuan mereka yang indah, lesung pipit yang akan muncul jika tersenyum, selalu membuatnya candu.

"Bukannya kamu dulu pernah bilang cinta saat putih abu-abu itu yang paling indah. Dan sekarang aku sudah menjalaninya."

Safira terdiam. Bingung harus berucap apa lagi. Tapi hati kecilnya berkata jika ini yang terbaik, namun tidak dengan logika bahwa ini termasuk fase bahaya.

****

Laki-laki itu berdecak pelan, dia menambahkan sambal dua sendok sekaligus ke dalam ketoprak langganannya. Sementara laki-laki yang di samping hanya mengulum tawa.

"Pantas lo kalo ngomong pedes banget. Ini penyebabnya," cetus Ari.

Netra redup itu menoleh tajam.

"Arina, lo pernah nggak sekarang ngerasain gimana ini piring bebas kena wajah jelek lo itu," sinis Rizky.

"Oy, nama gue Ari. Bukan Arina, kampret! Dasar setan," bentak Ari panas. Dia menunduk malu, sudah kebiasaan sahabat-sahabatnya memangilnya dengan nama perempuan.

Rizky tersenyum miring, "Tapi lo lebih mirip perempuan di banding dengan sebutan na----" belum sempat Rizky meneruskan kata-katanya, mulutnya sudah di bekap.

"Bisa gak jangan teriak-teriak? Lo tau gak sih dari tadi kita berdua jadi pusat perhatian. Kita ada di depan sekolah orang. Ahh.. kangen, kan, gue waktu sekolah dulu." Ari memotong cepat tetap membekap mulut Rizky tidak membiarkan laki-laki itu kembali berbicara.

Rizky memukul keras tangan Ari dari mulutnya, beralih memandang ke atas papan yang bertulisan ~Highschool Dirgantara Internasional~ jujur Rizky merindukan masa SMA-nya.

Ari mengeryit, rasa canggung mulai terasa. Dia menyikut perut Rizky tapi laki-laki itu diam. Tatapannya seolah kosong.

"Terlalu monoton kah hidup lo sampai-sampai polusi pada kabur lihat wajah lo!" bisik Ari sarkas.

Rizky hanya melirik Ari tajam dari tatapannya. Tawa keras dari laki-laki itu membuat telinganya panas seketika.

"Sayangku! Apa perlu best friendmu ini mencari jodoh yang pas untuk dirimu yang sudah karatan." Ari tertawa pelan sambil memukul meja.

Terlihat miris jika tertawa hanya sereceh itu.

"Lah... yang ngomong belum nikah kenapa toh?" ucap Rizky sarkas. Menepuk-nepuk bahu Ari.


****

BUDAYAKAN VOTMET SESUDAH MEMBACA YA 🌟 SEMOGA SUKA BUTUH PEMBACA SETIA

Rizky dan Adelia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang