Pura-Pura

1.7K 258 379
                                    

Cowok berseragam batik itu terus mengejar dua gadis yang sebentar lagi akan memasuki kantin, sebelum itu terjadi ia harus mencegatnya. Di tabraknya semua orang mengabaikan decakan semua murid yang berlalu lalang di koridor.

"SAFIRA!"

Gadis berambut sebahu itu semakin mempercepat langkahnya, satu tangannya menarik tangan Adel. Cowok itu mendegus kuat ia berbelok ke lorong kanan jalan pintas untuk menuju keduanya. Ada hal yang harus ia katakan.

"Kenapa lo putusin gue?" Pertanyaan itu membuat keduanya terlonjak kaget. Adel memiringkan wajahnya melihat wajah Safira berubah merah.

Safira menarik tangan cowok itu menepi. Keduanya sama-sama diam, sementara Adel bersandar di salah satu tembok menunggu.

"Katanya nggak mau pacaran, lah ini jelas yang namanya pacaran." Adel membatin.

Untung saja tidak ada yang tau sedang ada perang dingin terjadi. Bisa di katakan jika Adel sekarang menjadi orang penengah, ia tidak tau ada masalah apa yang terjadi dengan Safira dan Bian. Yang pasti mereka sekarang memiliki hubungan lebih dari teman.

Safira berdecih, "Kita berdua sia-sia punya hubungan kalo kelakuan lo masih sama. Gue cape di ikutin mulu, gue kira lo bakal berubah setelah kita pacaran ini malah gak sesuai yang gue harapin ... dan satu lagi kita itu cuma pura-pura pacaran." Napas Safira naik turun jujur ia tidak suka kelakuan Bian yang banyak aturan.

Bian menggelengkan kepalanya meraih kedua tangan Safira lalu menggengamnya erat. "Aku cinta sama kamu!"

Sudah di katakan Safira ini tipe cewek dewasa, penampilannya lebih mirip preman pasar. Jadi tidak heran ia tidak terlalu percaya dengan laki-laki yang selalu berucap manis padanya hanya untuk sekedar di manfaatkan.

Adel melongo ini lebih dari tontonan korea yang sering di lihatnya. Ahh-- dasar, andai ia bersama Rizky seperti itu.

"Rabies, kita itu mau ke kantin! Kamu jangan halangin, aku nggak nyangka kalo kalian berdua itu cuma pura-pura tapi nggak papa. Itu lebih bagus karena aku tau kamu or---"

"Nama gue Rabian," potongnya cepat ia tersenyum miring. "Apa lo yang udah cuci otak Safira buat putus sama gue. Kita itu baru pacaran satu minggu dan lo hanya parasit di hidup Safira." Telunjuknya ingin mendorong jidat Adel namun langsung di tepis Safira.

Parasit

Adel terdiam, Safira yang tak terima langsung menendang tulang kering Bian, meninju perutnya, berakhir mendorongnya ke tembok.

"Cuih, seharusnya emang gue gak harus kenalan sama lo kalo mulut lo udah mirip pisau."

Keduanya saling tatap lama, tak ada yang tau bahwa Adel sudah berlari meninggalkan keduanya. Safira menatap malas tangan itu yang terulur untuknya.

"Bantuan gue!" Bian memegang perutnya yang sakit. Aneh, ia mendonggak Safira sama sekali tidak ada niat membantunya.

"Gue benci sama lo."

Bian menahan napas. Seberapa penting Adel di hidupnya hingga Safira tak membantunya sama sekali dan memilih mengejar gadis bodoh itu, pikirnya. Ia menatap nanar punggung itu yang di telan jarak.

"Dan gue juga benci sama sahabat lo Safira," lirihnya sendu.

Kaki jenjang itu menuju taman. Menghembuskan napasnya, sakit ya di bilang parasit apalagi dengan si perusuh itu.

Ketenangan lah yang di tujunya sekarang. Ia merenung pikirannya entah ke mana. Apa iya selama ini hidup dirinya hanya bergantung pada Safira? Tentu saja tidak, Adel teman untuk Safira begitupun sebaliknya.

Safira gadis yang baik walaupun terkadang ia menyebalkan.

"Lagi meratapi hidup ya?" suara serak dari samping membuatnya menoleh datar. Veron menyengir lebar mendekatkan tubuhnya dengan Adel.

"Ngapain?"

"Lagi liatin wajah lo yang kusut udah mirip jemuran yang kelamaan gak di angkat, terus jadi kerupuk." Veron menjentikkan jemarinnya menunjukkan senyum konyol, pasti akan membuat semua orang ilfeel

Suasana hati Adel yang buruk semakin buruk. Ia menunjukkan kepalan tangannya bersiap menonjok wajah Veron, belum sempat tangan itu berhasil menuju wajah Veron tangan cowok itu langsung menggenggamnya, saling bertaut.

"Kapan tangan kita bisa gandengan gini. Lo harus sadar bahwa di sekeliling lo itu ada yang peduli melebihi Safira. Di pikiran lo itu cuma Safira jadi gak heran banyak yang hujat lo cuma ka..." Veron berdehem. "Karena sikap lo yang gak peduli sekitar dan mereka bilang lo hanya memanfaatkan dia, paham?"

Adel meremas roknya memandang ke arah lain. "Itu pandangan semua orang, pendapat orang beda-beda. Terserah kamu mau bilang apa, tapi yang jelas kamu nggak tau gimana aku dan Safira bisa sedekat ini bahkan kita berdua udah mirip saudara."

Bahunya merosot ke bawah. Dasar keras kepala, apa masalahnya jika ia ingin menjelaskan, oke Veron tau bahwa Adel tidak menerimanya. Semuanya belum di coba.

"Kamu dengar pembicaraan kami pas di koridor tadi?" tanya Adel curiga.

Veron memutar bola matanya malas, "Iya. Gue sengaja nguping," jawabnya santai. Matanya melirik ke bawah masih di genggam---bahagianya, Adel tak sadar jemari mereka berdua masih bertautan.

"Apa salah gue pengen waktu sekarang berhenti. Tangan lo lembut banget, andai kita berdua bisa kaya gini selamanya." Veron kembali berucap ia menggoyangkan tangannya. Adel melotot tersadar, ia menjambak rambut Veron.

"Lepasin! Kamu cari kesempatan dalam kesempitan," protes Adel.

"Oke, ini juga mau di lepas," jawab Veron kesal.

Keduanya saling pandang. Veron tercengat menatap netra sendu, refleks tangannya terulur merapikan poni gadis di depannya.

"Kalo butuh sandaran gue bisa bantu. Jangan mikir yang jauh-jauh dulu, gue ikhlas," ucapnya terkekeh. Adel menunduk salah tingkah, ia kembali memandang ke arah lain. Setelah beberapa detik selanjutnya ia di buat kaget dengan tindakan Veron yang menarik kepalanya ke dada cowok itu. Garis bawahi dada.

Di abaikannya semua pandangan yang berada di taman kecil Dirgantara. Tidak ada tanda protes, pukulan, atau lebih. Veron cukup kagum, kenapa Adel hanya diam berada di pelukannya. Hari ini adalah hari paling bahagia dan tidak akan pernah di lupakannya bisa memeluk seseorang yang di cintai.

"Aku anggap kamu sebagai Kak Rizky, sebelum itu jangan berharap," desis Adel sebelum memejamkan matanya. Ia mengantuk sekarang apalagi mencium bau parfum seragam Veron yang menenangkan.

Rizky!

Pendengarannya terasa asing mendengar nama itu tapi entah kenapa hatinya sakit. Rizky siapa? Rizky febian, Rezeki, atau tukang gerobak sampah yang ada di komplek perumahannya. Veron sibuk dengan pemikirannya. Sementara Adel sudah berdengkur halus menikmati waktu istirahatnya untuk tidur.

Rizky dan Adelia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang