Tentang Dia (b)

602 78 140
                                    

Baik Satria dan Ari hanya diam tidak ada yang berani memecah keheningan. Hingga lima menit berikutnya Rizky kembali berbicara.

"Jadi ... kenapa muka kalian tegang?" Rizky bertanya sembari meletakkan cangkir kopi di meja, alisnya hampir menyatu dengan kedatangan tamu tak diundang.

Ari berdeham samar.

"Lo serius mau nikahin, Lia!" Ada nada kesan tidak percaya di sana. Rizky sempat mengira Ari tidak mengikhlas kannya akan menikah atau mungkin saja selama ini diam-diam sohibnya itu menyimpan peraaaan terhadap Adel--- siap-siap nanti akan langsung ia cekik.

Dengan cepat Satria melarat ucapan Ari menyadari tatapan itu.

"Maksud si bego kenapa lo menikah lebih dulu. Seharusnya kita berdua."

"Jangan bercanda!" Rizky mengeram kesal. "Kalo memang kalian saling menyukai gue nggak ikut campur, dasar homo."

Keduanya membuang muka kemudian menirukan orang muntah. Suasana berubah canggung. Serius, Ari sangat normal jadi tidak mungkin dibilang homo. Ini pasti dampak dirinya yang selalu menemani Satria ke mana cowok itu pergi.

"Gue salah bicara ya?" Ia menatap keduanya bersalah seraya mengetuk meja.

"Oke, kita kembali ke topik utama."

"Topiknya jangan membahas LIA. Hal lain, gue nggak suka kalian berdua bahas dia," tegasnya menekankan kata Lia.

"Wow! Seorang Rizky posesif."

Satria mengatupkan tangannya, memelas. terus berkata maaf giliran ia yang salah bicara.

"Tinggal menunggu aja, kan? Kalian berdua akan benar-benar menjadi sepasang sandal yang lama berpisah," tutur Ari terkekeh geli. "Hehe, suami-istri maksudnya."

Rizky menunduk menyembunyikan sudut bibirnya yang terangkat. Teringat ketika Adel menangis dengan alasan terharu karena kebaikan orang tua Rizky dan cara memanggilnya yang sudah berubah. Padahal menurutnya itu biasa saja.

"Gimana bisa orang tua lo segampang itu mau anaknya memilih tinggal sendiri, hm berdua. Sedangkan gue masih ingat mereka pengen anaknya tetap di kandang." Satria menambahkan santai. Ia mengatakannya sesuai fakta, dulu baik Ririn dan Rezfan memperlakukan Rizky seperti itu kecuali si kembar.

"Justru apa yang bopak gue lakuin malah bikin gue kaya gini," sahutnya tertawa. "Gue malah mirip dia melakukan semua hal tanpa berpikir."

"Dan lo nyesel."

"Enggak kayaknya."

Suara ketukan pintu dari luar membuat pembicaraan ketiganya terhenti. Rizky menautkan alis ia balas menatap Ari seolah mengartikan buka pintu, gue mager.

"Lo aja, deh." Cowok berkacamata itu terlihat ogah-ogahan lebih memilih membaringkan tubuhnya disofa.

"Kalian cuma numpang."

"Jangan debat, biar gue!" Final Satria menggeser kursinya beranjak menuju pintu.

Naufal tersenyum lebar digendongannya ada balita baru berumur satu tahun. Sementara di belakang cowok itu ada Ratna yang memasang wajah datar.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Rizky dari tempatnya. Aneh sekali jika saudara tirinya itu datang tidak dengan niat terselubung apalagi kini membawa Ardan yang membuatnya menahan diri untuk tak mencium pipi tembem itu. Rizky masih ingat saat Arka memberinya ancaman tidak boleh menyentuh Ardan sedikit pun.

Dan sepertinya untuk saat ini itu tidak berlaku.

"Ada tugas buat lo?" Naufal mengabaikan tatapan penuh peringatan dari Ratna.

"Apa?"

Naufal memasuki ruangan, mendekati sang saudara lalu menyerahkan Ardan padanya, tanpa berbicara lagi. Ia menarik tangan Ratna yang hendak protes.

****


"Sampai kapan kamu rebahan kaya gitu?" Suara lembut dari kejauhan membuat Rizky tersentak kaget walaupun begitu ia tetap pada posisinya. Jangan lupakan Ardan tengah duduk di atas perut Rizky sambil memegang dot di tangan mungilnya.

"Nanti nangis lagi, Ma. Kalo Rizky bangun," jawabnya. Tadi ia sudah sempat hendak menggendong balita itu membawanya ke dapur. Perut Rizky berteriak minta diisi seakan tidak membiarkan, Ardan tiba-tiba menangis.

"Terima nasib." Ririn tersenyum geli. Kedua tangannya membawa nampan, dari kejauhan Ririn tau maksud anak tunggalnya itu yang terus bergerak gelisah, "Untung Mama peka, Jangan lupa cucu paling ganteng harus makan juga biar tambah gemuk."

Seperti dugaannya,Ardan tetap bergeming duduk di atas perutnya. Menolak menerima kedua tangan sang mama sambil meracau tak jelas yang membuat kerutan Rizky semakin dalam.

"Mam...mam...."

"Ar, mau makan." Ririn paham. Sedikit mundur dari duduknya, memegang bungkusan biskuit yang sudah di buka. "Papa tua juga lapar. Setelah ini baru kalian main lagi."

Akhirnya Rizky bisa bernapas lega dengan gerakan Ardan mengubah posisinya turun dari tubuh Rizky.

"Tadi pagi Adel ke sini," tutur Ririn lagi. Ditatapnya Rizky tengah susah payah menelan lontong di mulutnya.

Raut wajah Rizky jelas tidak percaya, ada kesan tidak suka di sana. Seharusnya Adel memberitahu ia lebih dahulu, atau sekedar berbalas pesan tapi ini lebih ada pembicaraan tersembunyi pada Mama. Yang diam-diam selama ini tak pernah bertemu beberapa hari dengan alasan sibuk. Membuatnya sadar ingin segera menjitak kening itu.

"Kok bisa?" Hanya kata itu yang terlontar di mulutnya, selera makan Rizky entah kabur ke mana. Ia bergantian memandang Ardan dan Mama. Jika balita itu sibuk terhadap remahan sisa biskuit di karpet yang diinjaknya maka Ririn lebih memilih tersenyum jahil.

"Intinya kita berdua lagi bahas cucu, Lia malah lebih bersemangat dia pengen punya anak secepat mungkin."

Rizky salah tingkah yang ia lakukan hanya mengangguk pasrah. Sadar bahwa gadis itu sengaja menantangnya.

****

PENDEK? MAAP

YANG SIDER BAGI VOTENYA UNTUK PART INI ..HM

TINGGALKAN VOTENYA SETELAH MEMBACA 🌟 Makasih ❤

Rizky dan Adelia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang