Benar kata orang. Penyesalan terbesar hanya akan terasa diakhir. Dan di saat akhir, kita tidak bisa kembali ke awal untuk memperbaiki.
ALBARISUS
Orang itu benar-benar pergi, menepati janji yang diucapkan sebelum melenyapkan hadir dari sosoknya, tepat setelah tak lama kembali ada di sekitarnya. Ia merasa sepi. Benarlah tak menyangka jika keegoisannya mampu menjadikan ia kembali merasa kekosongan, sama seperti lima tahun lalu. Bedanya, sekarang ia mampu mengontrol mentalnya agar tak terlalu jatuh pada jurang kegelapan seperti dulu.
"Bunda." Suara berat dengan nada lirih itu mengalun lembut. Pelan, tapi tetap bisa terdengar oleh orang yang baru saja dipanggil. Laki-laki ini menatap sendu ke arah wanita yang ia panggil bunda sambil tersenyum, walau senyumnya terasa sangat palsu dari pandangan wanita yang berjarak tak begitu jauh dari tempatnya berdiri, ambang pintu.
Senyum tipis sebagai sahutan diluncurkan, tetapi seakan tak ingin melewatkan jika orang yang dirinya tunggu hadir dengan seketika, netra teduh itu kembali menoleh ke arah depan. Menatap lekat pada gerbang rumah. Menghiraukan langkah kaki dari laki-laki yang kini telah mendekat, berdiri tepat di sampingnya.
Sejenak, pria berumur 20 tahun ini menghela napas. Bukan hanya bunda, ia juga sama. Menanti hadir dari orang yang selalu ia rindukan di setiap helaan napasnya. Setiap ia membuka mata, hanya satu yang selalu diharapkan, hadirnya orang itu yang sedang tersenyum cerah ke arahnya. Tapi, sudah 3 tahun. Dan keinginannya tetap menjadi angan. Bahkan mimpi saja tak pernah mengizinkan mereka bertemu.
"Bunda," Ia menghela napas sejenak, "Bunda harus istirahat. Gak baik lama-lama di luar, anginnya dingin banget."
"Sebentar lagi," sahutnya tanpa menoleh ke arah lawan bicara.
"Bunda," Kini nadanya terdengar bergetar, "adek gak akan pulang. Jangan ditunggu."
Wanita ini menoleh, menatap penuh intimidasi pada laki-laki yang berdiri di sampingnya. Tak terima jika kalimat tadi keluar dan menusuk indera pendengar. Dadanya tiba-tiba sesak, berdenyut nyeri begitu saja. Bibirnya terkunci, tak mampu mengalunkan suara untuk berucap kata. Dia menunduk, netra teduh itu sudah memanas.
Laki-laki ini berjalan selangkah untuk berada tepat di depan sang bunda, berjongkok agar dapat melihat jelas wajah wanita yang terduduk di kursi teras rumah dengan bahu yang mulai bergetar. Setelahnya ia mengambil kedua tangan milik sang bunda, menariknya untuk ia ciumi. Hingga tanpa dapat dicegah, cairan bening ikut lolos dari netra coklat gelapnya.
Tak ada yang bicara, mereka sama-sama terpaku pada posisi tadi dengan air mata diiringi isak tangis yang memecah hening malam ini. Sama seperti terakhir kali. Keduanya menangis, merasakan pedih dan luka yang sama. Dengan keberadaan seorang pria di ambang pintu yang sedari tadi telah menyaksikan interaksi antara istri dan salah satu anaknya tanpa hadirnya terasa oleh mereka, tak lama, air mata turut mengalir dari netranya.
Sekarang pria paruh baya itu menyesal, menyesal karena dulu hanya memilih untuk menyelamatkan salah satu dari keduanya. Dan saat ini, semuanya sudah terlalu terlambat walau hanya sekedar meminta maaf.
-ALBARISUS-
Cerita baru di tahun baru
Ternyata saya gak bisa hiatus terlalu lama. Niatnya ingin up awal bulan 2, tapi saya majukan jadi sekarang.
Jangan lupa klik tanda bintang di pojok kiri bawah hingga berubah warna menjadi orange.
Next chap => 24 Januari 2020
Jumat, 17 Januari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARISUS ✔
Teen FictionMendekatlah, biar kuceritakan padamu sebuah kisah tentang seorang anak yang hatinya setegar karang, senyumnya seputih salju hingga dapat memukau dirimu, serta tatapan netra indahnya yang dapat menenangkan jiwamu. Ini tentang Rafa, seorang remaja lak...