[37] Sudah Waktunya

14.5K 965 116
                                    

Rafael tetap tersenyum.

Dan katanya juga sudah bahagia

.... Benarkah?

-ALBARISUS [revisi, 18 Januari 2024-

Sosok itu tidak akan pernah bisa terhapus dari setiap ruang yang sempat diukir oleh hadirnya. Senyumannya juga tidak akan pernah tenggelam walau terkikis oleh waktu yang terus berjalan. Kesempatan bertemu dengannya adalah sebuah keberuntungan. Tertawa oleh dan bersamanya adalah salah satu kado indah dalam kehidupan.

Rafael mempunyai arti kasih sayang. Patut pula diakui, arti dari namanya bukan hanya sebuah doa, melainkan rahmat Tuhan. Namun, sayangnya ia terlalu senang membagi rahmatnya hingga lupa batas dari kemampuan; membahagiakan orang lain dia jadikan kewajiban utama dibanding nyamannya diri.

Lantas, seperti apa cintanya pada orang tua tak patut lagi untuk dipertanyakan, sebab bukti nyata telah tergambar dari sebuah kisah bagaimana dalamnya cinta seorang anak, yang nyatanya tidak akan pernah cukup dijabarkan oleh jutaan aksara. Perjuangan mendapatkan kembali hati Ayah dan Bunda adalah salah satu tujuan hidup yang Rafa jadikan keharusan. Kebahagiaan mereka adalah keutamaan bagi Rafa sebagai wujud baktinya pada Tuhan. Membuat Bunda menangis adalah kesakitannya. Perintah Bunda dan Ayah merupakan tugas wajibnya.

Senja kali ini menjadi saksi, di sana, pada sebuah taman rumah sakit sosok seorang remaja laki-laki berumur sembilanbelas tahun menjadi objek perhatian. Senyum itu mengembang, mekar bersama dengan datangnya para anak-anak yang mengerubungi; Rafa adalah magnet alami.

Lalu, pemuda tadi lekas membagikan balon-balon yang tergenggam. Sedang di tempatnya, para orang tua dari anak-anak tersebut kembali dibuat jatuh pada jurang kagum—entah yang keberapa kali. Di mana, dalam diam turut menjadikan Rafa sebagai salah satu acuan pembelajaran untuk anak mereka. Acuan tentang seperti apa bentuk dari ketulusan dan saling memberi yang merupakan wujud cinta sesama, serta bagaimana dalam hidup tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, melainkan juga untuk milik yang lain.

Bukan hanya orang tua, para perawat dan dokter pun ikut mendamba sosok yang selalu datang dengan senyum cerahnya, memberikan semangat pada mereka yang sedang berjuang untuk mempertahankan hidup demi menikmati dunia lebih lama lagi.

"Jadi, mulai besok Kakaknya udah gak ada di sini?"

Dapat Rafa lihat bagaimana wajah sendu dari anak-anak tersebut berhasil membuat denyut tak nyaman pada hati, tetapi dia pun mau tak mau harus kabarkan informasi agar mereka tidak berharap dan kecewa saat tak mendapati hadirnya dalam jangka waktu lama.

"Iya, Dek. Liburan kali ini Kakak sama temen-temen bakalan balik ke Bandung," jelas Rafa, mencoba memberi pengertian selembut mungkin. "Maaf ya, nanti Kakak bakal lumayan lama gak main-main ke sini."

Untuk libur semester kali ini, setelah memutuskan bersama, teman-temannya tertarik menikmati suasana Bandung selama seminggu di awal cuti. Dan karena memasuki libur panjang, artinya lebih dari satu bulan setengah dia akan meninggalkan Jogja—tempat yang dirinya pilih untuk melanjutkan pendidikan—serta anak-anak di sini.

"Yah ...," seru para anak kecil tersebut. Terlihat kecewa dengan keputusan yang pemuda sembilanbelas tahun ambil. Namun, bagaimana pun mereka hanya mampu menerima, sebab paham jikalau Rafael merupakan anak rantau yang masih punya rumah untuk disambangi.

"Kita pasti kangen," sahut yang lain.

"Kakak juga pasti bakalan kangen sama kalian."—Rafa tersenyum teduh, berusaha tenangkan diri yang diam-diam turut merasa tak rela untuk meninggalkan anak-anak yang berada di hadapan—"Awas loh ya, jangan nakal-nakal, terus harus nurut kalo dibilangin dokter sama kakak-kakak perawat."

ALBARISUS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang