[5] Redupnya Sang Mentari

7.1K 807 23
                                    

Menurutmu, jalan yang kau pilih sudah tepat karena ego telah membenarkan. Namun, seharusnya bukan ego yang kau jadikan acuan tapi ketenangan.

ALBARISUS

Kondisinya sudah lumayan pulih. Dan sebenarnya bisa saja Rafa masuk sekolah hari ini. Namun, Agam bersikeras tidak mengijinkannya untuk bersekolah. Seharian mereka juga hanya berdua di rumah, sempat Dhamar pulang, tapi hanya untuk mengambil barang-barang yang diperlukan. Sedangkan Arya sama sekali tidak menginjakkan kaki semenjak kemarin.

Sekarang Rafa sedang berada di balkon kamarnya. Terdiam dan menatap datar ke arah langit yang sudah mulai mencondongkan mentari ke barat. Agam sedang menjemput Farrel untuk pulang.

Dunianya semakin jauh berbeda. Rumah ini semakin sepi. Walau ada Agam yang selalu setia bersamanya, Rafa tetaplah merasa kosong. Pikirannya terus saja berkelana. Terutama memikirkan bagaimana keadaan bunda. Hingga tak sadar jika ada seseorang yang telah berada di sampingnya.

"Masih pusing?"

Rafa menoleh ketika mendengar suara tadi. Farrel, sang kembaran menatapnya dengan raut wajah yang masih menampilkan kekhawatiran. Lengkap dengan seragam yang masih melekat.

"Udah sehat kok," sahut Rafa.

"Kalo gitu, mau ikut jenguk Bunda, gak?" Farrel tak tau apa-apa. Tidak ada yang membahas tentang kejadian kemarin.

Rafa terdiam. Ia ingin, tapi juga takut. Takut jika hadirnya akan membawa masalah.

"Farrel, kenapa kamu masih di sini?" Agam, pria itu tiba-tiba saja datang dan menyahut. "Siap-siap gih. Katanya mau cepet-cepet ketemu, Bunda?"

Farrel mengangguk. Dan sebelum resmi beranjak pergi, ia menatap Rafa lalu berujar, "Lo juga siap-siap ya."

Agam dan Rafa sama-sama terdiam ketika mendengar hal tadi. Setelah Farrel benar-benar lenyap dari pandangannya, barulah Rafa membuka suara. "Mas, aku pengen ketemu, Bunda."

Mendengar tak ada sahutan, Rafa kembali berucap, "Aku gak bakalan masuk kok, cuma pengen liat dari luar. Setelah itu aku bakalan langsung pulang. Tanpa Bunda tau kalo aku dateng."

Agam tak mampu. Ia tak mampu menolak permintaan dari sang ponakan. Terlalu besar kerinduan yang ditunjukkan oleh netra coklat terang itu. Menjadikan ia menganggukkan kepala. Tanpa tau, bahwa semua tidak selalu berjalan sebagaimana yang telah direncanakan.

Setelah semua siap. Mereka langsung memasuki mobil. Ada rasa ragu ketika Rafa baru keluar dari rumah. Tapi, ia mengabaikannya. Menganggap bahwa semua akan baik-baik saja. Ia hanya akan melihat dari jauh, setelah itu kembali pulang ke rumah. Jika Farrel bertanya maka ia akan menjawab bahwa kepalanya kembali pusing, oleh karena itu ia bergegas pulang dengan memesan ojek online.

Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di rumah sakit. Hari mulai sore, jadi tak banyak para penjenguk yang berkeliaran. Setelah memarkirkan mobil, ketiganya bergegas untuk masuk ke dalam. Ada rasa aneh yang menerjang Agam, membuatnya ingin menarik Rafa pergi menjauh. Tapi, lagi-lagi ia tak sanggup ketika melihat Rafa tersenyum, begitu antusias untuk menemui bunda. Tapi, semuanya buyar. Pikiran negatifnya benar-benar terjadi.

Belum sempat mereka masuk ke dalam rumah sakit. Suara teriakan dari belakang menjadikan ketiganya kompak menoleh. Di sana, Arya sedang menuntun Dhita yang baru saja dari taman---atas saran dokter---langsung menatap murka ke arah mereka. Tidak, lebih tepatnya pada Rafa.

"Dhit---"

"NGAPAIN KAMU DI SINI PEMBUNUH!" teriak Dhita. Memotong ucapan Arya. Menjadikan Farrel langsung membulatkan mata tak percaya. Bundanya berteriak kepada siapa? Sedangkan Rafa, segera menundukkan kepala.

"Mba' tenang dulu," sahut Agam.

"NGGAK! NGAPAIN DIA DI SINI?! NGAPAIN?" seru Dhita. "PERGI KAMU PEMBUNUH! PERGI!"

"Dhit, tenang," sahut Arya. Beberapa pengunjung telah menatap mereka. Satpam dan seorang suster turut berlari mendekat untuk menenangkan.

Tapi, semua sia-sia. Dhita meronta, menunjuk ke arah Rafa serta kembali mengatakan bahwa dia pembunuh. "PEMBUNUH! KAMU PEMBUNUH!"

"Dhita!" tegas Arya. "Tenang."

"PERGI KAMU! PERGI PEMBUNUH!"

Pada akhirnya, suster tadi berlari ke dalam rumah sakit untuk segera mengambil suntikan penenang.

"Mba' tenang dulu." Kini Agam ikut turun tangan. Sedangkan Farrel masih terdiam dengan wajah syoknya. Orang-orang juga semakin banyak, memperhatikan tontonan gratis yang tersaji.

"PERGI! PERGI KAMU! PERGI!" seru Dhita. "Pergiiii! Jangan dekat-dekat sama anak aku!" Wanita ini langsung menarik Farrel agar menjauh dari Rafa.

"PERGI PEMBUNUH! SAYA GAK MAU LIAT WAJAH KAMU. GAK MAU!" lanjut Dhita. "Mas, aku gak mau liat wajah dia! Dia---"

"Agam! Bawa dia pergi. Dari sini dan dari rumah aku. Jangan sampek aku liat wajah dia saat aku kembali ke rumah."

Rafa langsung mendongak. Menatap tak percaya ke arah sang pelontar kalimat, ayahnya. Matanya menatap lekat ke arah Arya. Berusaha mencari kebohongan dari dalam sana. Namun, tak ada. Ia hanya menemukan amarah.

Suster pun datang dan langsung menyuntikkan obat penenang. Hanya butuh beberapa saat sebelum pada akhirnya sang bunda jatuh kepelukan Arya yang segera membopong Dhita untuk masuk. Farrel turut membuntuti dari belakang. Satpam juga menyuruh para kerumunan yang memandang iba untuk membubarkan diri.

Hanya tersisa dua orang di sini. Agam, dan Rafa. Di mana Rafa menatap datar ke arah punggung ayahnya yang telah lenyap. Juga Agam yang memandangi Rafa sendu.

Sekarang, kemana Rafa harus pulang? Sekarang, kemana Rafa harus berteduh ketika bunda sudah tidak menginginkan hadirnya? Saat ayah secara terang-terangan mengusirnya?

"Rafa," panggil Dhamar yang sudah berada di hadapannya. Mendengar keributan yang terjadi, sontak saja dirinya yang memang ingin pulang sebentar ke rumah berlari kencang menuju Rafa. Mengabaikan Arya yang sedang membopong Dhita. Namun, walau mendengar panggilan kakek, Rafa sama sekali tak menoleh ke arah Dhamar dan masih fokus untuk memandang kosong ke arah depan. Melihat hal itu, kembali, air mata Agam mengalir tanpa diminta.

Dhamar pun menangkup wajah Rafa dengan kedua tangannya. Berusaha mengalihkan atensi sang cucu. "Sayang, Rafa gak pa-pa kan?"

Rafa menggeleng. Tidak, sekarang ia tidak bisa mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Sekarang ia benar-benar tidak baik-baik saja. "Ayah ngusir aku," gumam Rafa dengan nada bergetar.

Dan semua yang terjadi pada hari ini bukanlah amarah sesaat. Karena Arya benar-benar pulang ke rumah ketika malam hari. Masuk ke kamar Rafa serta memberesi barang-barang miliknya. Tanpa basa-basi, juga melirik ke arah sang anak, Arya langsung menyuruh Agam untuk membawa Rafa pergi. Tapi Rafa tidak pergi, ia masih ada di rumah itu.

Keesokan harinya, Dhamar pulang serta mengajaknya untuk ikut dengan dia juga Agam. Kakek dan pamannya memang bukanlah tinggal serumah dengannya, keduanya datang karena kabar perginya Ardian. Dan sekarang mereka akan kembali ke Bandung. Rafa juga ikut serta akan melanjutkan sekolah di sana. Ayah benar-benar mengusirnya.

Sekarang, akankah semua baik-baik saja? Akankah Rafa bisa menjadi Rafa yang selalu membuat semua orang bahagia dengan hadirnya? Setelah alasan mengapa ia hadir saja tidak menginginkan keberadaannya?

Rafa, remaja yang selalu ceria dan penuh canda.

Rafa, seorang murid yang terkenal karena sifat tengil tapi masih berada dalam batas wajar.

Rafa, seorang teman yang selalu menginginkan para sahabat tertawa ketika bersamanya.

Rafa, seorang anak yang selalu mau melihat bunda dan ayah bangga karena memilikinya.

Dan mulai sekarang, akankah Rafa masih bisa menjadi Rafa yang sebenarnya?

ALBARISUS: To Be Continue ....

Jumat, 27 Maret 2020

ALBARISUS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang