Senyum tak dapat menandakan bahwa ‘dia’ sedang baik-baik saja, bisa jadi itu hanyalah cara bagaimana dia menenangkan orang lain. Atau bahkan, membohongi diri sendiri untuk selalu menegarkan hati.
ALBARISUS
Tepat di samping teras depan rumah adalah sebuah tempat santai yang biasanya digunakan untuk acara kumpul keluarga kecil Elvano. Terdapat kursi dan sebuah ayunan duduk di sini. Mengusung tema taman, terdapat beberapa tanaman rambat---imitasi---yang membuat tempat ini terlihat sangat segar serta benar-benar menjadi tempat ternyaman untuk sekadar menikmati senja, hujan, atau pun malam.
Kini Rafa berada di tempat itu untuk menikmati malam. Sendirian, sebab jam memang sudah sangat larut. Dirinya tidak bisa tidur sehingga memutuskan duduk di tempat yang dulu menjadi favoritnya juga Ardian untuk bersantai atau belajar bersama.
Dulu, Rafa sangat senang melihat hujan dari tempat ini, membiarkan tubuhnya terkena sedikit pecikan air. Dulu, Rafa juga sangat menyukai angin malam yang seakan mengelus lembut kulitnya. Namun, sekarang Rafa selalu berusaha menghindari hujan, saksi bisu dari kepergian sang Kakak. Ia pun tak lagi menikmati sentuhan angin malam, kedinginan membuat otaknya kembali memutar kejadian dimana ia menangis di tengah hujan. Dingin serta menyesakkan.
Rafa sangat mencintai hujan, sama seperti Ardian. Namun, mulai saat itu semua berubah. Rafa tidak lagi mandi di bawah hujan untuk menikmati tetesan air membasuhi tubuhnya. Kini, Rafa memilih untuk selalu menghindar. Sangat segan bersentuhan langsung dengan sesuatu yang sempat dicintainya.
“Belum tidur?”
Rafa menoleh ketika mendengar suara yang sangat familiar itu. Menyelusuri kenangan membuat Rafa tidak sadar bahwa Arya sudah berada di sini, mengambil tempat duduk tepat di sebelahnya.
“Gak bisa tidur,” sahut Rafa.
Arya menyahuti dengan sebuah anggukan, serta mulai memilih untuk menatap langit malam yang selalu ia nikmati ketika merasa ingin bertemu seseorang. Seseorang yang dulunya sering menemani ketika ia tidak bisa tidur. Walau mereka tidak terlalu dekat, tetapi, Ardian selalu setia menemati Arya ketika tidak bisa mengistirahatkan tubuh. Mereka akan berbincang santai tentang hari yang dilewati masing-masing beserta sebuah kopi atau teh sebagai pelengkap. Perbincangan yang sebenarnya disertai hawa dingin serta kaku.
“Kangen Kak Ardi, Yah?” tebak Rafa.
Tebakan itu pun tepat sasaran. Rafa selalu tahu segala hal yang keluarganya lakukan, termasuk Ardian dan Arya yang sering menghabiskan waktu untuk saling berbincang ringan di beberapa malam.
“Kangen banget,” sahut Arya sembari menatap lekat sebuah bintang yang bersinar paling terang.
Sempat lenggang beberapa saat sebelum suara Rafa kembali mendominasi.
“Maaf, gara-gara aku Kak Ardi harus pergi.”
Arya sama sekali tidak terkejut dengan kalimat yang berhasil keluar dari mulut sang anak. Pria ini pun enggan menyahut, memilih tetap diam. Hal itu sontak membuat Rafa langsung merasa nyeri tanpa ada wujud nyata dari benda yang melukainya.
“Ini udah takdir, Raf.” Arya membuka suara, walau terpaksa karena dirinya sungguh tak mampu untuk membahas topik yang berusaha anaknya angkat.
“Allah tau yang terbaik untuk Kakak kamu,” lanjut Arya. Entah mengapa suaranya mulai bergetar sekarang. Ada rasa sesak setiap dirinya mengucapkan kalimat tadi, kalimat yang bahkan selalu ia katakan pada dirinya sendiri.
“Tapi, jika bisa Ayah pengen kembali memutar waktu,” ujar Arya. “Ayah gak akan pergi keluar kota, Ayah akan larang Kakak kamu untuk pergi. Ayah sendiri yang akan jemput kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARISUS ✔
Teen FictionMendekatlah, biar kuceritakan padamu sebuah kisah tentang seorang anak yang hatinya setegar karang, senyumnya seputih salju hingga dapat memukau dirimu, serta tatapan netra indahnya yang dapat menenangkan jiwamu. Ini tentang Rafa, seorang remaja lak...