Regu inti yang akan mewakili sekolah kini sedang berlatih di dalam gor. Bertanding dengan satu regu lain. Sedangkan untuk sisanya latihan di lapangan basket depan. Di tribun sudah ada beberapa murid yang hadir hanya untuk sekadar menonton.
Siapa yang ingin melewatkan para anak-anak basket yang sebagian besar adalah idola sekolah? Terutama seorang Andre, Alvan, juga murid baru yang terkenal sangat bersahabat?
Pekikan dan teriakan heboh mewarnai latihan kali ini. Sedang beberapa murid sisanya hanya diam-diam tersenyum untuk mengagumi.
Seorang gadis berambut sebahu memilih untuk melakukan opsi pertama. Berteriak menyemangati dua orang yang menjadi prioritas utama. Remaja itu meneriaki nama Andre dan Rafa secara bergantian. Mengalahkan teriakan anggota cheerleaders yang turut hadir untuk latihan sekaligus ‘menyemangati’ teman-temannya yang sedang berlatih.
“Masukin, Raf bolanya! Masukin!” teriak Lea heboh. “YESSS!” sambungnya saat melihat orang yang ia teriaki namanya berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Mengabaikan bisik-bisik murid lain yang sedang menggosipinya karena sangat mengganggu sedaritadi.
Dengan begitu, pelatih menghentikan latihan sementara untuk para anggota basket itu istirahat. Sontak saja, Rafa segera berlari ke arah tribun tempat Lea berada karena tasnya memang ada di samping gadis itu. Beberapa cewek memberikan senyum padanya, yang tentu dibalas senyum tipis juga oleh Rafa. Sedangkan teman-temannya yang lain memilih selonjoran di bawah sana. Tak ayal, senyum dari seorang Rafa berhasil membuat gadis-gadis itu salah tingkah.
“Ish, gue gak tau lo sehebat itu,” gumam Lea sembari menggeleng-gelengkan kepala kagum.
“Gak nyamperin Andre?” tanya Rafa, melenceng dari topik.
Lea menggeleng. “Ujung-ujungnya pasti diusir, buat apa?”
“Terus berjuang dong,” ujar Rafa. Lantas ia membuka tas untuk mengambil botol minumnya. Lagi, dan lagi, botol minum itu berisi tanah.
“Loh, kok airnya?”
“Shht!” peringat Rafa. “Jangan berisik.”
“Tapi itu---”
“Punya air gak?” potong Rafa. Mengalihkan topik.
Secepat kilat, wajah gadis yang tadi kebingungan karena apa yang dilihatnya dari isi botol milik Rafa kini mulai berubah drastis. Dirinya lantas mengambil botol air mineral yang ada di sebelahnya dan segera menyodorkan air itu pada Rafa.
“Masih penuh kok. Gue baru beli tadi, belum sempet diminum. Ambil aja.”
“Yakin? Gue minta dikit aja.”
“Iya, yakin. Ambil semua. Lagian gue bawa susu kok,” jelasnya sembari menunjukkan sekotak susu yang ada di tangannya.
“Thanks,” ujar Rafa. “Yaudah. Gue gabung sama anak-anak dulu.”
“Eh tunggu,” cegat Lea. Dirinya lantas kembali mengambil satu botol minuman ringan rasa jeruk dari dalam tasnya. “Nih, kasih ke Andre.”
Rafa mengangguk. Menatap aneh pada Lea, seakan bertanya ‘kenapa gak kasih sendiri?’
“Kalo gue yang kasih pasti gak mau. Lirik dikit aja gak bakalan,” sahut Lea seakan mengerti pandangan Rafa. “Kalo elo, minimal bakalan dipegang. Gue udah seneng.”
Rafa tersenyum lalu mengangguk. “Titip tas. Kalo ada yang nelpon langsung panggil gue.”
“Siap, Bos!” seru Lea. Itulah alasan mengapa Rafa menitipkan tasnya pada Lea. Takut jika hari ini ia pulang terlambat dan Arya atau Farrel menelpon, sedikit mustahil jika Dhita, maka Lea bisa langsung memanggil atau mengangkatkan untuknya. Sebab jika diletakkan di bawah, ia yakin tidak akan ada yang mendengar. Bisa-bisa orang rumah khawatir karena Rafa tak menjawab panggilan. Entah bagaimana, Rafa dan Lea juga bersikap seakan sudah kenal sangat lama. Saling percaya satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARISUS ✔
Ficção AdolescenteMendekatlah, biar kuceritakan padamu sebuah kisah tentang seorang anak yang hatinya setegar karang, senyumnya seputih salju hingga dapat memukau dirimu, serta tatapan netra indahnya yang dapat menenangkan jiwamu. Ini tentang Rafa, seorang remaja lak...