[2] Janji, Hujan dan Dia

11K 898 14
                                    

Bukankah sangat menakutkan bahwa kapanpun bisa menjadi waktu terakhir kau berbincang dengannya?

ALBARISUS

Suara tangisan kini sudah tak terdengar sebab telah terusir oleh lelah, menyisakan seorang pria yang baru saja bangkit dari kasur dan berjalan perlahan ke arah balkon kamar. Duduk dengan ditemani sunyi dan dinginnya angin malam.

Netra coklat terang itu menerawang ke arah langit. Dalam dekapannya terdapat sebuah foto yang ia ambil dari atas nakas kamar sang pemilik. Pandangannya begitu lekat ke arah rembulan yang menampakkan diri dengan jelas. Pikirannya pun sudah melayang, mengulang kembali kisah beberapa hari lalu, cerita di mana keluarganya masih lengkap.

•••

"Baru pulang, Yah?"

Suara rendah dan senyum cerah menyambut kedatangannya tiga hari lalu. Arya lantas berjalan mendekat ke arah sang putra sulung, mengangguk kecil sebagai sahutan. Ardian pun langsung mencium punggung tangan Arya.

"Adek-adek kamu mana?"

"Di kamarnya Rafa, Yah. Mereka sibuk ngerjain PR."

Arya lagi-lagi mengangguk, tak perlu bertanya lebih lanjut tentang di mana sang istri karena ia telah tau jawabannya. Atau tidak perlu basa-basi untuk menanyakan apa yang terjadi hari ini pada remaja yang ada di hadapannya.

Keluarga mereka bukan lah keluarga sangat harmonis yang akan menyempatkan diri untuk sekedar mengobrol santai dan menikmati waktu luang. Mereka hanya lah keluarga pada umumnya, keluarga yang juga memiliki kesibukan masing-masing dan dunia masing-masing. Mereka hanya akan berkumpul serta bersama pada saat ada suatu kepentingan atau karena rindu yang begitu menerpa, ibadah, sarapan, dan makan malam, selebihnya mulai sibuk dengan tugas dan kewajiban masing-masing.

Tapi, walau tak begitu dekat dengan ayah, Ardian tak serta merta turut menghindar. Remaja ini akan terus mendekat, berusaha menyalurkan kehangatan pada pria yang telah menjadikannya hidup dengan berkecukupan sampai sekarang. Dan walau Arya merupakan sosok kepala keluarga yang tidak banyak bicara, bukan berarti ia tak tau tentang perkembangan anak-anaknya. Ia selalu setia mengamat.

"Yaudah, Ayah pamit dulu."

"Tunggu, Yah."

Arya menghentikan niatnya untuk melangkah dan menatap pada sang anak sulung. Menunggu remaja di depannya untuk melanjutkan kata.

"Um ... itu, kita bisa bicara berdua gak? Aku mau tanya pendapat Ayah tentang sesuatu."

Arya mengangguk. "Boleh, tapi nanti ya. Ayah mau bersihin badan dulu."

•••

Dan sekarang Arya sangat menyesal. Menyesal karena pergi begitu saja serta tak menepati janji. Rasa lelah mengaburkan ingatannya, saat selesai makan malam, sang anak sulung terlihat menatapnya dengan pandangan yang bodohnya pada saat itu tidak dimengerti oleh Arya. Dirinya terlalu lelah hingga mengabaikan Ardian dan memilih pamit untuk segera beristirahat.

Paginya ia mengingat janji itu dan mengatakan bahwa nanti malam mereka akan benar-benar berbincang. Dan Ardian sama sekali tak marah, remaja itu malah memekarkan senyum kepadanya. Tapi sayang, hari itu juga dirinya harus menjalani perjalanan luar kota mendadak dan harus pulang di hari minggu. Namun, apa yang didapatkannya ketika berada dalam perjalanan menuju rumah sungguh membuat seluruh tubuhnya lemas.

Sang asisten rumah tangga menelepon, mengatakan bahwa Ardiannya telah pergi. Untuk selamanya.

"Maaf karna Ayah gak bisa nepatin janji," gumam pria ini sembari memandang jauh ke depan. Sungguh, ia menyesal karena sudah mengabaikan permintaan terakhir dari sang anak sulung.

ALBARISUS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang