Tetap awasi orang-orang di sekitarmu. Mereka bisa saja adalah alasan mengapa tenangmu tak lagi hadir. Itu pun karena kamu terlalu dekat dengan dia sehingga enggan membuka mata.
ALBARISUS
“Loh Farrel, belum tidur?” tanya Arya yang baru saja memasuki rumah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari luka Rafa, jadi, mereka langsung pulang setelah selesai memeriksa. Bukan hanya memeriksa, luka Rafa sempat kembali diobati dan mereka pulang cukup lama karena harus menebus obat. Selain itu, karena tahu Rafa belum makan malam, maka Arya sengaja mengajak anaknya untuk makan malam di luar, tetapi Rafa menolak, katanya ingin makan masakan Bunda saja.
“Bunda gak mau makan,” beritahu Farrel yang sudah berdiri di hadapan Arya---sedari tadi dia menunggu di ruang tamu.
Arya menghela napas, setelah itu menghadap ke arah Rafa yang berada di sampingnya. “Maaf Ayah gak bisa nemenin kamu makan, gak pa-pa kan?”
Rafa mengangguk sembari mengulas sebuah senyum. “Gak pa-pa kok, Yah.”
“Oh ya, Farrel. Kamu langsung tidur ya. Besok sekolah.”
Farrel belum sempat menjawab, tetapi Arya sudah berlalu duluan, pria itu harus menyiapkan makanan untuk sang istri.
“Kok bengong, Bang?” tanya Rafa.
Farrel menggeleng. “Gue tidur duluan,” pamitnya. Mengabaikan sebuah fakta bahwa dia sama-sama belum makan sedari tadi.
“Oke. Tapi habis ini gue tidur sama elo ya? Kangen gue tuh.”
“Gue capek. Kapan-kapan aja.” Tanpa menoleh, Farrel menyahut dan bergegas pergi.
Rafa terdiam, tidak biasanya Farrel menolak apa yang dirinya minta. Pria ini menggeleng, menepis pikiran buruknya. Sang kembaran pasti lelah, secara berkutat dengan pelajaran secara terus menerus.
Setelahnya, Rafa bergegas untuk pergi ke ruang makan, mulai menyendok nasi dan mengambil lauk yang masih tersaji di sana. Memakannya dalam diam juga tenang, sedikit bahagia juga ada. Bahagia karena kembali menerima perhatian Ayah, tetapi bukan berarti Rafa senang melihat keluarganya khawatir.
Ketika makanan sudah hampir habis, Arya datang dengan sebuah piring berisi makanan yang masih terlihat banyak.
“Bunda udah tidur ya, Yah?”
“Enggak, masih bangun kok. Lagi baca buku waktu Ayah masuk. Tapi cuma makan sedikit,” jawab Arya. Duduk di hadapan sang anak, ia juga belum sempat makan. Setelah Dhita terus-terusan menolak untuk menghabiskan makanan yang baru masuk tiga suapan, akhirnya Arya menyerah. Memilih untuk mengisi energinya sendiri.
“Pasti Bunda kesel sama Rafa gara-gara Ayah harus ke luar, padahal masih makan malam ya, Yah?”
Arya tersenyum, tidak bisa menanggapi. Memangnya apa yang harus dia beri sebagai jawaban? Mengangguk? Itu akan menyakiti Rafa. Sedangkan menggeleng, Arya tahu bahwa Rafa cukup pintar untuk mengetahui situasi apa yang sedang mereka hadapi.
“Udah, kamu lanjutin makannya. Habis itu minum obat terus tidur. Bunda gak pa-pa kok.”
Rafa terdiam. Tak lama, ia kembali berucap, “Makasih Yah.”
Arya mengerutkan dahi. “Untuk apa? Kan udah jadi kewajiban Ayah untuk anter kamu berobat kalo sakit.”
“Makasih karna Ayah gak ngebenci, Rafa,” jawabnya disertai senyuman tipis.
Arya kembali dibuat bergeming. Kalimat dari anaknya terdengar tulus, tetapi mengapa ia malah merasakan sakit? Mengapa ia merasa begitu bersalah karena tak mampu mengambil tindakan apa pun untuk membuat Dhita kembali menerima Rafa?
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARISUS ✔
Roman pour AdolescentsMendekatlah, biar kuceritakan padamu sebuah kisah tentang seorang anak yang hatinya setegar karang, senyumnya seputih salju hingga dapat memukau dirimu, serta tatapan netra indahnya yang dapat menenangkan jiwamu. Ini tentang Rafa, seorang remaja lak...