[30] Diminta Menjauh

5.5K 652 64
                                    

Seminggu terakhir yang Rafa dapatkan di sekolah adalah selalu minuman bewarna merah atau kotak bekal yang isinya daun-daunan, atau tanah dengan sebuah kertas bertuliskan semoga bahagia, selamat menikmati, jangan lupa tersenyum dan sebagainya. Setidaknya tidak ada ‘pemainan’ fisik seperti yang terakhir kali.

Hanya sekali ban sepeda motornya kempes, saat keesokan harinya Rafa meminta untuk mengecek cctv karena hal tersebut, petugas tidak memperbolehkan, karena katanya itu mungkin memang terjadi bukanlah karena keisengan siswa sekolah, melainkan memang ban motor Rafa sudah bocor dari rumah. Namun, Rafa tentu menepis hal tadi, ia yakin dengan sangat bahwa orang tersebut yang melakukannya, tetapi sekali lagi penjaga tidak mengizinkan dia untuk mengeceknya. Katanya tidak boleh sembarang murid melihat cctv, katanya juga hal itu masalah sepele, Rafa pun sudah membawanya ke bengkel, menjadikan remaja itu pasrah begitu saja.

Sabtu siang kali ini Rafa dan Arya sibuk bermain kartu bersama, setelah sebelumnya bermain basket, bahkan tadi pagi keduanya lari di sekitar komplek mereka, hanya berdua. Tadi pagi, seperti biasa Rafa juga sudah meletakkan sebuah tangkai mawar dengan note I’m Sorry Bunda yang tidak pernah terlewatkan olehnya, tetapi seperti biasa juga mawar tersebut harus berakhir di tempat sampah. Hari ini juga genap 40 hari Rafa kembali ke rumah.

Saat sedang asik bermain bersama, sesekali tertawa karena berdebatan kecil karena kartu, seseorang yang baru saja memasuki rumah menarik perhatian keduanya. Di sana Farrel yang memakai seragam sekolah datang dengan tas yang digendongnya, berjalan ke arah Arya serta menyalami sang Ayah.

“Gimana lombanya?” tanya Arya. “Langsung diumumin atau masih harus nunggu?”

“Harus nunggu, Yah,” sahut Farrel. Hari ini lombanya sudah dimulai, yaitu seleksi untuk masuk ke semi final. “Sekitar tiga harian katanya.”

Arya mengangguk. “Ya udah kamu bersih-bersih dulu, abis itu turun buat makan.”

Farrel menggeleng. “Tadi sebelum pulang, aku sama yang lain mampir dulu buat makan.”

“Kalo gitu habis mandi kamu langsung istirahat,” suruh Arya.

“Iya, Yah,” jawab Farrel. “Aku ke atas duluan.”

Sebelum pergi, Farrel melirik sejenak ke arah Rafa yang terlihat tersenyum kepadanya. Namun, ia hanya menghiraukan hal tersebut. Hari ini ia sudah cukup lelah, jadi benar-benar membutuhkan istirahat. Sedangkan di sana, Rafa terpaksa menelan kembali senyum yang terbit dari bibirnya. Entah hanya perasaannya atau bagaimana, beberapa hari ke belakang Farrel terlihat sedikit berbeda. Farrel sudah jarang berbincang santai seperti biasanya. Seakan ada sebuah dinding tebal yang menghalangi keduanya untuk sekadar saling menyapa. Hanya Rafa yang terus-terusan melempar senyum yang tidak pernah ditanggapi oleh Farrel.

Namun, Rafa tidak terlalu mempermasalahkan, mungkin Farrel lelah karena harus belajar untuk lomba. Juga tugas-tugas sekolah lain. Akhir-akhir ini Farrel juga jarang berkumpul, memilih berada di dalam kamar sendiri.

“Besokkan Minggu, gimana kalo kamu ajak Kakak kamu jalan-jalan?” usul Arya, tentu menyadari apa saja yang telah terjadi selama beberapa hari belakangan. “Ayah liat akhir-akhir ini kalian jarang ada waktu berdua.”

Rafa mengangguk. “Iya, nanti aku coba tanya deh, Yah,” jawabnya. Sedikit ragu karena tidak yakin bahwa Farrel ingin menghabiskan waktu dengannya.

Namun, Rafa tetap menjalankan saran dari Arya, ketika makan malam selesai dengan Dhita yang terus mengatakan bahwa Farrel pasti masuk ke semi final, juga pasti akan memenangkan olimpiade kali ini karena kemampuannya tidak perlu diragukan, membuat Rafa sedikit merasa ‘terasing’ di meja makan. Walau, ia pun tidak menyangkal hal tersebut. Farrel itu pintar, sangat pintar seperti halnya Ardian. Berbeda dengannya yang memiliki nilai akademis standar, atau bahasa simpelnya, pas-pasan.

ALBARISUS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang