Epilog

11.5K 771 73
                                    

Rafael, terima kasih untuk kisahmu.

-ALBARISUS [revisi, 18 Januari 2024]-

Sesuatu akan hilang saat kamu menganggapnya tidak berharga; enggan peduli dan meyakini bahwa hadirnya adalah perlumu—sebuah pernyataan yang gambarkan bagaimana Bunda jalani hari setelah hari itu.

Hampir genap empat tahun sesudah kabar—hingga kini enggan wanita paruh baya yakini—yang disampaikan oleh sang ipar. Dalam setiap detik terlewati, juga meski kata 'bercanda' yang dia kejar dari Agam dan Kerya tak pernah didengar, pun malah mereka akhirnya ditampakkan oleh pusara ayar bertuliskan nama Bungsu Elvano, Bunda tetap enggan percaya; Rafael harus tetap hidup.

Rafael harus tetap tampakkan senyumnya.

Bunda masih begitu ingin untuk melihat bagaimana gembira tercipta di wajah sang anak, tepat ketika mendengar kalimat maaf—berupa beri dan terima—dari mulut Bunda yang begitu Rafael dambakan. Juga, masih ingin salurkan cinta tulus yang serupa dengan pemberian dari Rafael.

Namun, sudah akan genap enam tahun, tetapi Rafael tak pernah hadir langsung di hadapan mereka. Entah berapa kali pula mereka datangi pusara yang letaknya cukup jauh dari Ibu Kota.

Nyatanya, Dhita tidaklah ingin ikut berkunjung, sebab percayanya mengenai Mentari Elvano yang masih ada. Namun, tak mendapati kembali hampir empat tahun pun berhasil menjadikan persenan rasa percaya kian hari kian berkurang. Yang entah tersisa berapa, tetapi jauh di dalam lubuk hati, harap akan pulangnya tetaplah mengambil tempat.

"Assalamualaikum."

Ayahlah yang lebih dulu keluarkan suara, juga yang pertama mengusap nisan berisi nama sang anak bungsu dengan penuh kehatian. Pun meski telah berkali datang, rasa sesak masih saja dirasa.

Dalam batin, Arya selalu bergumam mengenai Rafael yang tidaklah pantas pergi ketika dia sebagai orang tua belumlah berikan cukup bagi anaknya. Rafael tidak pantas hanya bahagia di sisi-Nya. Rafael begitu pantas mendapat kasih di dunia, dan itu adalah kewajibannya. Namun, untuk laksanakan tanggungjawab, Ayah ternyata sungguh sudah terlalu terlambat—sangat.

Seandainya juga turut mengambil tempat, berandai tentang diri sendiri yang seharusnya tak hanya melihat luka milik sang istri. Dan seandainya Arya tak tenggelam dan tertipu oleh senyum milik sang bungsu, semua setidaknya tak akan berakhir dengan cara seperti ini.

Sekarang, tanya berupa bolehkan mereka memintar agar waktu dapat diulang, sehingga sesaat pun tidak akan mereka biarkan Rafael lebarkan senyum beriringan dengan tangisnya.

Benar kata orang, bahwa ada dua hal yang menjadi alasan dari lupa terparah; mencintai terlalu dalam, atau membenci terlalu kelam—dan Bunda sudah mengalami keduanya.

--

"Sialan lo, Rel. Lo tau bokong gue udah kesemutan gara-gara nungguin elo? Katanya otw, otw apaan hah? Otw masuk kamar mandi?"

Baru saja dudukkan tubuh, juga belum sempat dapatkan posisi nyaman, lontaran kalimat tadi langsung sahabatnya—yang didapat lewat cara luar biasa—ocehkan.

Kala itu, perginya Rafael menjadikan Farrel sempat putuskan untuk ikut bersama sang kembaran, tepat di seminggu pertama setelah ketahui rumah baru milik bungsu Elvano. Dengan pikiran kacau tak karuan, Farrel berusaha untuk terjun dari rooftop kafe yang terletak tak jauh dari kampus.

Sontak, para pengunjung yang kebayakan adalah mahasiswa langsung bangkit ketika menyadari seseorang yang tadinya duduk di pojok telah menaiki tembok pembatas. Hanya beberapa saat jeda waktu dari Farrel yang baru saja tumpukan diri pada beton tersebut, dua orang—dikenalnya hanya sekadar nama—memaksa turun dengan cara kasar.

ALBARISUS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang