“Besok ketemu di kafe.”
“Ada apa?” tanya Alvan.
“Masalah Rafa.”
-ALBARISUS-
Ini adalah kali kedua air mata mengalir dari netra coklat terang itu selama Rafa memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Di balkon kamar, ia terus memandangi langit kelam sembari cairan bening mengiringi, tidak ada isakan dari tangisnya, atau lebih tepatnya Rafa menahan agar tidak ada suara dari mulutnya. Rafa sakit karena sebuah kejujuran yang Farrel katakan. Dunia runtuh seketika ia beranjak keluar dari kamar sang kembaran.
Rafa selalu berusaha untuk tidak bertanya pada Tuhan, untuk tidak menuntut alasan mengapa harus dirinya yang merasakan sakit dibenci oleh keluarga sendiri. Namun, kali ini disela tangis itu hatinya terus bergumam, bertanya pada Tuhan tentang kenapa harus dirinya? Kenapa harus dia?
Rafa ingin seperti remaja normal lainnya, menikmati masa muda dengan bersenang-senang bersama temanmu untuk menjelajah seperti apa alam luar, serta dikasihi keluarga, tetapi mengapa rasanya hal itu begitu mustahil mampir ke dalam kisah remajanya? Mengapa harus begini takdir yang dimiliki?Rafa tahu ia sangat tidak bersyukur, telah diberi kesempatan berada di dunia oleh Tuhan, tetapi masih saja banyak mengeluh. Bahkan sudah diberi nikmat yang sayangnya tak mampu ia sukuri.
Remaja itu mengusap wajahnya kasar untuk menghapus air mata, tetapi didetik selanjutnya wajahnya kembali penuh dengan cairan. Rafa ingin berhenti, tetapi tubuh dan otaknya sama sekali tidak menginginkan hal serupa. Hingga seseorang yang merangkul tubuhnya yang duduk di atas kursi dari samping membuat Rafa lantas menoleh.
Agam, pria itu tersenyum padanya, membuat Rafa terpaksa juga ikut tersenyum lalu berusaha untuk segera menghentikan air mata.
“Nangis aja, gak pa-pa,” ucap Agam dengan nada lirih. Melihat Rafa menangis adalah kelemahannya.
“Makasih.”
“Hm.” Dia lantas membawa kepala Rafa untuk bersandar di dadanya, mengelus kepala keponakannya itu dengan lembut. Agam tidak tahu apa yang terjadi sehingga Rafa menangis, niatnya adalah memberikan kejutan untuk keponakannya mengenai kedatangannya yang tiba-tiba, secara sudah lama ia tak berkunjung. Mumpung besok weekend, dan dia tidak sibuk, maka Agam sempatkan untuk menjenguk Rafa. Namun, niat hati memberi kejutan, tetapi malah ia yang diberi kejutan.
Setelah beberapa menit kemudian, tangis milik Rafa sudah reda. Rafa lantas mendongakkan wajahnya pada Agam. “Rafa kangen banget sama Kak Ardi, mangkanya nangis.”
Agam tersenyum. Berusaha memahami, ini bukanlah saatnya membahas apa yang membuat Rafa yang biasanya selalu tersenyum, malah menangis deras seperti sekarang.
“Dateng sama Mbak Keyra?”
“Iya dong, dia katanya kangen banget sama kamu,” jelas Angga. “Sekarang Mbak kamu lagi di bawah, nyiapin makan malem sama Bunda kamu.”
“Umm ... nanti aku gak ikut makan malem ya?”
“Loh, kok gitu?”
“Mas bilang aja kalo aku lagi tidur dan gak bisa dibangunin,” pinta Rafa. Cukup sadar diri, pasti mukanya sudah sembab, begitu juga dengan matanya. “Aku takut Bunda sama Ayah khawatir.”
Agam mengangguk. “Nanti Mas bawain makanannya buat kamu.”
“Makasih,” ujar Rafa sembari tersenyum. Senyum yang seharusnya tidak timbul saat ini, senyum yang bahkan seharusnya tak terbit saat tadi ia sedang menangis. Itulah Rafa, remaja yang dipaksa dewasa sebelum waktunya. Remaja yang tak mau membuat orang lain khawatir atau bahkan kerepotan karena dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARISUS ✔
Teen FictionMendekatlah, biar kuceritakan padamu sebuah kisah tentang seorang anak yang hatinya setegar karang, senyumnya seputih salju hingga dapat memukau dirimu, serta tatapan netra indahnya yang dapat menenangkan jiwamu. Ini tentang Rafa, seorang remaja lak...