Karena rindu yang tak ingin menepi sebab obat temu tidak akan pernah terbeli, bisa menjadikan orang lain begitu sepi juga patah hati.
ALBARISUS
"Ini temen gue semenjak sekolah di sini," ucap Alvan, setelahnya memasukkan bakso ke dalam mulut. Kini mereka telah tiba dan duduk di kantin untuk menikmati pesanan masing-masing.
Rafa tersenyum, menganggukkan kepala dan menyodorkan tangan untuk memperkenalkan diri yang langsung ditanggapi oleh remaja yang sedari tadi tak mengeluarkan suara. "Rafael, lo bisa panggil gue Rafa."
"Gue Andre."
"Dia juga tetangga gue dan asli dari Bandung," sambung Alvan.
Mendengar hal tadi, Rafa pun langsung kembali menyahuti, "Oh ya? Gue pindahan dari Bandung juga."
"Apa kita pernah ketemu?" lanjut Rafa, sekadar berbasa-basi walau ia pun sudah tahu bahwa Bandung tidak sekecil komplek rumahnya. Dan mungkin saja Andre telah pindah bertahun-tahun lalu.
Andre menggeleng. "Kayaknya enggak."
Setelah dua kata tadi, tak ada lagi bersuara dan memilih untuk memfokuskan diri pada hidangan masing-masing. Dapat Rafa ketahui bahwa remaja bernama Andre ini sedikit pendiam. Mengingat kata pendiam, sontak Rafa mengedarkan pandangan, mencari orang yang turut memiliki sifat serupa.
"Nyari gue?"
Bukan hanya Rafa, Alvan dan Andre turut mendongak ketika mendengar suara berat dari orang yang kini telah duduk di sebelah Rafa. Orang yang biasanya sangat jarang untuk mendudukkan diri di kantin dan lebih memilih untuk menyantap makanan di dalam kelas, nyatanya, setelah adanya orang yang setelah dua tahun tak bertemu menjadikan Farrel keluar dari zonanya. Meletakkan semangkuk mie ayam yang kini mulai disantapnya.
"Gue kira lo kenapa-napa, soalnya gue cari-cari gak ketemu," ujar Farrel sembari melirik ke arah sang kembaran.
"Lo pikir dia masih bocah?" sahut Alvan tanpa melihat ke arah orang yang perkataannya ia tanggapi dan masih fokus memasukkan bakso ke dalam mulut.
Farrel tak menyahuti kalimat tadi, dan malah melirik ke arah Rafa yang kini juga memandang padanya. Menunggu apa yang hendak di katakan Farrel. "Lo gak nemu temen lagu selain dia?"
"Maksud lo apa?" sahut Alvan dengan nada tak terima.
Inilah yang akan terjadi jika Farrel dan Alvan dipertemukan. Sebenarnya mereka tak memiliki masalah pribadi satu pun, tetapi entah mengapa semenjak hari pertama keduanya bertemu, pertengkaran kecil tak akan pernah terlewati.
"Gue cuma nanya," jawab Farrel tenang. "Gak usah ngegas."
Alvan tak lagi menyahuti, lebih memilih untuk menyimpan energinya. Tak ingin usaha makannya sia-sia jika terus berdebat dengan Farrel, sedangkan Rafa telah terkekeh sedari tadi. Tersenyum senang sebab bisa kembali merasakan bagaimana sahabat dan kembarannya adu mulut.
Semenjak di Bandung, Rafa tetaplah berkomunikasi baik dengan Alvan. Selain Farrel, orang yang telah ia anggap kakaknya sendiri itu begitu memedulikannya, salah satu orang yang selalu berhasil membuatnya tak selalu merasa kehilangan. Dan karena terlalu sibuk dengan persiapan pindah dan pengajian kakek, Rafa tak sempat memberitahu berita kembalinya dia pada sang sahabat, serta baru ia ketahui bahwa ternyata Farrel lah yang memberi informasi tentang kepulangannya.
Farrel melirik ke arah orang yang berada di samping Alvan, membuka mulut untuk berujar, "Tadi Bu Siska nyari elo, katanya abis istirahat ke ruangannya buat ikut ulangan susulan."
Andre mendongak, menganggukkan kepala sebagai tanggapan. Farrel dan Andre memang satu kelas, tapi tak terlalu akrab, keduanya memiliki sifat yang hampir sama, terlalu pendiam dan hanya mengeluarkan suara jika diperlukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARISUS ✔
Teen FictionMendekatlah, biar kuceritakan padamu sebuah kisah tentang seorang anak yang hatinya setegar karang, senyumnya seputih salju hingga dapat memukau dirimu, serta tatapan netra indahnya yang dapat menenangkan jiwamu. Ini tentang Rafa, seorang remaja lak...