Kata orang, terlalu banyak berharap itu tidak baik. Apalagi kepada manusia. Namun, tidak kepada Tuhan. Dia selalu menunggu kita untuk selalu berharap padaNya, bahkan berharap tentang hati manusia sekalipun.
ALBARISUS
Seperti biasa, meletakkan bunga mawar dan catatan bertuliskan I’m Sorry Bunda pada pagi hari adalah hal yang tidak pernah terlewati oleh Rafa akhir-akhir ini. Dan seperti biasa kedua barang itu akan berakhir di tempat sampah.
Rafa dan Farrel datang sedikit melebihi batas dari jam biasa mereka sampai di sekolah. Sudah banyak murid-murid yang berada di sini, menyapa Rafa ketika melihat remaja pindahan itu menuju ke kelasnya. Terutama para gadis yang begitu mengagumi seorang Rafa. Senyum hangat laki-laki itu berhasil menarik perhatian mereka.
Sekadar informasi, setiap malamnya selalu saja ada yang mengirimkan pesan kepada Rafa. Menanyakan kabar, sudah makan atau belum, dan hal-hal klasik lain yang terlalu biasa. Rafa pun akan menjawab dengan sedikit diselingi oleh candaan.
Sebenarnya Rafa adalah tipe orang yang malas membuka handphone, lebih baik menghabiskan waktu untuk membaca atau bermain gitar. Jadi, biasanya pesan-pesan itu sudah ‘kadaluarsa’ utuk dirinya jawab.
Rafa sudah hampir lupa dengan apa yang menimpanya ketika di sekolah, tetapi keberadaan sebuah kertas di mejanya menjadikan Rafa kembali mengingat tentang seseorang yang berusaha bemain-main dengannya. Kali ini Rafa menganggap hal itu angin lalu dan segera meremat kertas tadi serta membuangnya. Rafa tak ingin memikirkan ‘lelucon’ yang sama sekali tak penting seperti sekarang.
Ada orang yang senang dengan Rafa, juga ada orang yang benci, salah satunya pasti orang yang selalu meletakkan kertas di meja Rafa serta memberikan tanah ke dalam airnya beberapa hari lalu. Dan Rafa malas untuk meladeni orang seperti itu. Jika benar ingin bermain, Rafa lebih suka jika langsung berhadapan, tidak seperti sekarang.
Rafa menghela napas, selanjutnya langsung bergabung dengan siswa lain yang berada di depan kelas untuk membicarakan hal random, tentu mereka menerima Rafa---orang yang selalu berhasil membuat suasana menjadi secerah pagi ini---dengan baik.
-ALBARISUS-
“Denis kecelakaan,” ujar Alvan memulai pebincangan. Denis, salah satu anggota tim inti basket yang mana mereka akan melaksanakan pertandingan final dua minggu lagi.
“Innalillah,” sahut Rafa. Mereka kini sedang berada di kantin seperti biasanya untuk menikmati makanan setelah bel istirahat berbunyi. “Terus gimana keadaannya?”
“Kakinya patah,” sahut Andre. “Orangtuanya dateng ke sini tadi.”
“Terus kapan mau jenguk?”
“Rencananya besok sore.”
“Oh ya, Pak Wendi kan tadi ngajar di kelas gue, katanya dia mau minta elo buat jadi penggantinya Denis,” jelas Alvan.
“Kok gitu?” sahut Rafa. “Kan ada yang lain, gue masih anak baru.”
“Anak baru tapi udah sering menangin pertandingan waktu di Bandung,” ujar Alvan. “Pak Wendi pasti udah mikirin dengan mateng lah, Raf.”
“Katanya mau lanjut bicara sama elo sih,” lanjut Alvan.
“Assalamualaikum.” Baru saja dibicarakan, Pak Wendi sudah hadir tepat di hadapan mereka.
“Waalaikumsalam,” jawab ketiganya serempak. Setelahnya pria itu pun meminta agar Rafa pergi menemuinya setelah selesai makan.
Ternyata topik yang ingin dibicarakan Pak Wendi ketika ia pergi ke ruang guru sesuai dengan pembicaraan Rafa bersama Alvan dan Andre tadi. Pria itu meminta agar Rafa bersedia untuk maju dalam final basket yang aka diadakan dua minggu lagi. Rafa sempat mengatakan apakah Pak Wendi sudah besungguh-sungguh dengan keputusannya dan apakah anak-anak ang lain telah setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARISUS ✔
Teen FictionMendekatlah, biar kuceritakan padamu sebuah kisah tentang seorang anak yang hatinya setegar karang, senyumnya seputih salju hingga dapat memukau dirimu, serta tatapan netra indahnya yang dapat menenangkan jiwamu. Ini tentang Rafa, seorang remaja lak...