Saat kita menganggap bahwa sesuatu tidak seberharga yang kita tahu, maka kehilangan akan melakukan tugasnya sebaik mungkin.
15-06-2020
Wanita itu mengembangkan senyum ketika mendekat pada seorang remaja yang sedang terbaring di atas brankar, berusaha menarik perhatian anaknya yang terlihat enggan mengeluarkan suara setelah ia memberitahu ke mana perginya orang yang dicari saat pertama kali membuka mata.
“Sayang, makan dulu ya?” tawar Dhita. Ditangannya sudah ada semangkuk bubur.
Namun, seperti terakhir kali, remaja yang ditawari makanan oleh bundanya tersebut akan menyahut, “Di mana Ayah?”
“Ayah masih pulang sebentar. Bunda aja yang nyuapin, gak pa-pa ya?”
Farrel menggeleng. “Aku tunggu Ayah dateng.”
Netra coklat gelap itu menatap sayu pada sang pelontar kata. Orang yang beberapa hari ini telah enggan mengeluarkan suara pada dirinya. Ini yng Dhita takutkan, bahkan ketika orang itu pergi, luka masih menetap bersamanya. Sebuah kesalahan karena dulu ia menurut untuk mengizinkan anak itu kembali ke rumah.
“Nak, jangan begini, dong,” pinta Dhita. “Hati Bunda sakit loh ngeliat kamu bersikap kayak gini sama, Bunda.”
“Terus sakitnya Adek aku gimana?” ketus Farrel. “Bunda baru aku giniin empat hari aja udah sakit hati kan? Gimana sama Adek aku yang udah dua tahun Bunda perlakuin seenaknya?”
“Kamu udah berani ngomong kayak gitu sama Bunda? Mau jadi anak durhaka?”
Farrel melirik Dhita tajam. “Kalo itu bisa buat Bunda sadar, aku rela jadi anak durhaka. Selama ini aku diem karna aku ngormatin Bunda sama Ayah. Aku gak mau ngebuat Bunda ngerasa sakit apa lagi sampek nangis.”
“Dua kali loh, Bun. Dua kali Rafa pergi dari rumah, dua kali kalian ngusir Adek aku. Dua tahun Adek aku tersiksa.”
“Kamu terlalu banyak bergaul sama dia, jadinya kayak sekarang kan? Kamu dihasut untuk ngebenci Bunda.”
“Ini yang aku takutin, aku takut kalo aku buka suara tentang Rafa, Bunda bakalan mikir yang enggak-enggak,” aku Farrel. “Asal Bunda tau, Rafa gak pernah sekali pun ngejelekin Bunda atau ngeluhin sikap Bunda sama dia ke aku. Dia sayang sama Bunda, sayang banget loh, Bun.”
“Tapi apa yang Bunda beri sama dia? Bunda selalu nyakitin Rafa, Bunda selalu bersikap ketus sama dia. Gak nyerminin apa itu seorang ibu yang sesungguhnya.”
“Dia ternyata bener-bener bawa pengaruh buruk sama kamu.”
Farrel menggeleng. “Salah Rafa apa sih, Bun? Kenapa Bunda sampek ngebenci dia sedalem ini?”
“Dia ngerusak kebahagiaan keluarga kita. Dia udah buat Ardian pergi, dia buat mental Bunda terganggu, dan sekarang dia buat kamu celaka.”
“Ini semua bukan karna Rafa, Bun. Kak Ardi pergi itu udah takdir. Mental Bunda keganggu juga karna Bunda yang gak bisa ngeikhlasin Kak Ardi,” ujar Farrel. “Farrel minta maaf, tapi Farrel harus ngomong ini. Bunda gak bisa ngeikhlasin Kak Ardi karna pada nyatanya, Bunda sendiri ngerasa bersalah secara gak langsung, sebab waktu itu kalo seandainya Bunda bisa jemput Rafa, kejadiannya gak bakal kayak gitu.”
“Kamu nyalahin Bunda?”
“Kalo masalah Kak Ardi, enggak, Bun. Itu udah takdir Alah,” jelas Farrel. “Tapi kalo Rafa iya. Bunda udah ngambil tindakan yang bener-bener salah, Bunda egois.”
“Bunda egois buat siapa?” sahut Dhita. “Buat keluarga kita, buat kamu. Saat ada dia, ketenangan kita terganggu. Bahkan pada akhirnya kamu harus celaka kayak gini.”

KAMU SEDANG MEMBACA
ALBARISUS ✔
Teen FictionMendekatlah, biar kuceritakan padamu sebuah kisah tentang seorang anak yang hatinya setegar karang, senyumnya seputih salju hingga dapat memukau dirimu, serta tatapan netra indahnya yang dapat menenangkan jiwamu. Ini tentang Rafa, seorang remaja lak...