Sekitaran ba'da isya Sultan mengantarku pulang. Malam ini angin berhebus sangat dingin sekali, bahkan lebih dingin dari malam-malam biasanya. Awan hitam di langit sana sudah berkumpul menghalangi cahaya bulan dan bintang.Sambaran-sambaran kilat mulai terlihat. Kurasa sebentar lagi akan turun hujan.
Hujan sekarang lagi musim-musimnya. Wajar saja, ini bulan November; perkiraan cuaca selalu seperti itu. Pokoknya mulai dari bulan September, Oktober, November, Desember. Bersiap-siaplah untuk menyediakan ember.
"dingin ya? "Sultan mematikan ac mobil. Aku mengangguk.
"Rel-"
Brukkk
Suara sesuatu dari luar mobil sontak mengejutkan aku dan Sultan. Berkali kali kalimat istigfar ku ucapkan.
Sultan mematikan mobilnya. "lo tunggu di sini dulu ya? Gue keluar bentar" ujarnya hendak keluar.
"tapi di luar masih hujan," cegahku.
Sultan menatapku, "hujan doang, gak langsung buat gue hilangkan dari muka bumi? " Sultan tersenyum jenaka membuatku begidik geli.
Ia membuka sabuk pengamanya dan langsung keluar dari mobil.
Tak lama, terdengar pintu mobil dari sampingku di ketuk. Langsung saja ku turunkan kacanya. Sultan sudah basah kuyup karena air hujan.
"bisa keluar sebentar? "tanyanya.
Dahiku mengkerut. "ngapain? "
"udah keluar aja. Gue butuh bantuan lo"
"tapi gak ada payung,"
"coba liat di jok belakang" ujarnya. Aku segera berbalik melihat ke jok bagian belakang mencari benda tersebut.
Dapat. Aku segera keluar dari mobil lalu membuka payung tersebut.
"kenapa? "tanyaku.
Sultan tersenyum lalu mengambil alih payung yang ku pegang.
Dia menyingkirkan benda itu sehingga membuat jilbab, baju, celana, serta tubuhku basah terkena tetesan hujan.
"ngapain di-" belum sempat aku berbicara. Sultan sudah duluan mememotongnya.
"mau main hujan bareng? Gue udah lama gak main hujan" katanya sambil tersenyum manis.
"tapi gimana dengan mobilnya? "
"ban mobilnya pecah. Tadi gue udah nelpon pihak bengkel, katanya setengah jam lagi mereka kesini."
"jadi mau main hujan gak? "tanya Sultan lagi. Aku tersenyum lalu melemparkan air yang sedari tadi ku tampung dengan tanganku kepadanya.
Aku tertawa ngakak kala melihat ekspresi terkejut Sultan.
"awas lo ya." Sultan hendak menangkapku. Tapi dengan secepat kilat aku lari menjauh.
"blekkk" Aku mengulurkan lidahku mengejeknya.
"sini lo" Sultan kemudian berlari mengejarku. Aku juga tak mau kalah dengan berlari menghindar.
Setelah bermain kejar-kejaran. Aku mulai merasa capek. Akhirnya ku tengadahkan kepalaku melihat langit malam yang gelap tanpa cahaya apapun. Ku rentangkan tanganku sembari memejamkan mata menikmati tetesan-tetesan air hujan yang jatuh mengenai wajah maupun tubuhku.
Seketika memori masa kecilku terulang kembali, terasa seperti sebuah film yang di putar dari dalam kepala; dulu setiap hujan turun; Aku, kak Syauqi, dan kak Devan pasti selalu suka. Setiap kali hujan turun hal yang kami bertiga lakukan adalah bermain. Ntah itu bermain kejar-kejaran, bermain kapal-kapalan, bahkan bermain bola bereng. Tak peduli dengan bunda yang teriak-teriak menyuruh pulang karena takut sakit. Seiring bertambahnya usia tiba-tiba kenangan-kenangan itu terlupakan begitu saja. Seperti sebuah kertas terbakar menjadi abu, lalu abu itu berubah menjadi debu yang perlahan hilang bersamaan dengan hembusan angin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Calon Imam
Espiritual"Ku tuliskan sebuah pesan untukmu wahai calon imamku." -Dear calon imam.