16. SEBUAH SYARAT

1.5K 84 4
                                    

Aku menghela nafas panjang. "Oke, aku akan mengajari kamu, tapi dengan satu syarat. Kamu harus ngantarin aku balik, gimana?"

Sultan menunduk, memajukan wajahnya tepat di depanku. Bahkan dari jarak sedekat ini aku dapat melihat warna iris matanya yang berwarna hitam pekat. Jantungku memompa dengan sangat cepat, "Jangan gila Sultan" gumamku dalam hati.

Cowok itu menyunggingkan senyuman miring. "Asiyapp" ujarnya sambil melakukan posisi hormat.

Aku dapat bernafas dengan normal saat Sultan sudah pergi dari hadapanku. Beribu-ribu kalimat istigfar ku batinkan.

"Ayo balik?" Tawar Sultan kemudian menyodorkan helm kepadaku. Aku mengambil helm tersebut kemudian kembali memakaikannya ke kepalaku.

Aku naik ke atas motor Sultan. Kembali menaruh tas punggungku di depan sebagai penjarak antara aku dan dirinya. "pegangan yang kuat" ujarnya.

"Jangan bawa motor gila-gilaan!" Balasku.

Sultan terkekeh pelan," baik ibu ratu, hamba siap melaksanakannya"katanya hiperbola.

Aku hampir tertawa mendengarnya. Dasar. Pede sekali dia. Tak sengaja mataku beralih melihat kaca spion motor Sultan yang memperlihatkan anak itu sedang mengumbar senyumannya padaku.

Deg

Secepat mungkin ku turunkan kaca helm untuk menutupi wajah ku yang sudah merah karena malu. Lagi-lagi aku di pergoki.

"Kenapa ditutup? Gue suka lihat lo senyum" katanya yang sangat malas untuk ku jawab.

"Cepat jalan" kataku sedikit memerintah.

Sultan menyalakan motornya kembali kemudian bergegas pergi dari tempat ini.

Udara malam yang berhembus menusuk terasa menembus ke permukaan epidermis kulit ku. Rasa dingin yang menjalar terasa sampai ketulangku.

Aku pernah baca, lupa dimana. Katanya udara malam itu ngga baik buat kesehatan, semakin sering tubuh kita terkena angin malam maka semakin cepat pula kulit kita mengalami keriputan.

Di tengah perjalanan aku mengeratkan pelukakan ku pada tas ranselku. Berharap dengan melakukan hal tersebut bisa membuat sedikit kehangatan.

"lo nggak dingin..?" Tanya Sultan sepertinya menyadari pergerakanku. Aku dapat mendengar pertanyaannya karena Sultan mengendarai motornya agak lumayan pelan.

Aku menggeleng, "Nggak kok," jawabku bohong.

Tak lama motor Sultan sudah masuk kedalam perkarangan rumahku. Ia mematikan mesin motornya. Aku turun lalu melepaskan helm yang menyangkut di kepalaku dan memberikanya kembali pada Sultan.

Ku perbaiki posisi jilbabku yang agak sedikit berantakan karena di hantam oleh angin tadi. "Makasih ya?" Ucapku pada Sultan.

Sultan mengangguk. "Udah masuk sana. Bunda sama Ayah pasti nungguin lo"

Aku bersyukur karena Bunda dan Ayah sedang tidak ada dirumah, jadi mereka tidak akan memarahiku karena pulang jam segini. Aku sangat yakin jika bunda ada di rumah dan mengetahuiku pulang selarut ini pasti aku sudah di marahinya dengan beribu-ribu omelannya.

"Iya"

"Yaudah, gue pulang dulu ya? Titip salam sama ayah dan bunda. Assalamualaikum?" Pamit Sultan kemudian kembali menyalalan motor besarnya.

"Wa'alaikumsalam" jawabku.

Dengan berlalu perginya Sultan dari rumahku, mataku tiba-tiba saja bersitatap dengan mata seseorang di seberang sana yang sedang menyenderkan punggungnya di mobil dengan posisi berpangku tangan sembari menimang-nimang handphonenya.

Dear Calon ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang