Tiga Belas Desember

42 1 3
                                    

Sudah kutebak hari ini akan menjadi hari yang bahagia. Kembali melihat senyumnya yang manis, dalam dekapan.

Awalnya saling mengacuhkan satu sama lain, namun lambat laun kami bersenyawa dan melebur.

Berjalan ke luar gedung yang hangat itu menuju jalan yang sarat akan hawa yang dingin setelah hujan. Berpayung di bawah bayang rembulan menyusuri jalan setapak pejaten barat yang mulai reot sana - sini.

Senja yang sudah larut menjadi saksinya, bahwa kamu dan aku pernah bersama.

Pikirannya sedang meluas, menatap langit - langit bus yang penuh sesak ditambah dengan padatnya daerah kemang. Setelahnya, ia bicara hingga kami pun terlarut.

Bukan kafe, bukan taman, namun terminal blok m yang kini menjadi tempat kami berbincang.

Pengetahuannya yang sangat luas akan kehidupan membuatku linglung ketika ditanya apa sebenarnya arti kehidupan.

Mulai dari situ, banyak ajaran yang ia ajarkan, menggunakan majas - majas anak sosial yang tak aku mengerti, mulai dari kuantitatif, kualitatif, objektif, hingga subjektif. Dia yang bahasanya terlalu tinggi, atau aku yang tidak pernah menghiraukan apa arti kata - kata itu sebenarnya? Kupikir - pikir lagi, sepertinya pernyataan kedua benar, aku yang terlalu sibuk dengan duniaku, aku yang terlalu acuh dan tidak peduli. Sehingga aku tak pernah melintaskan pertanyaan - pertanyaan itu di benak.

Dan benar saja, ia mengajarkanku banyak hal. Katanya, aku harus lebih realistis, aku harus menganggap diriku bodoh untuk tetap bertahan hidup di dunia, katanya aku harus berpikir objektif, tak selamanya yang aku pikir negatif itu benar, segalanya tidak harus dinilai secara positif atau negatif karena ada tengah - tengah di antara mereka, dan aku harus mengerti apa itu hidup dan untuk apa aku berada di sini sekarang?

Dia ternyata orang yang perhatian, bahkan aku diantar hingga halte dekat rumahku. Sesampainya di halte yang sepi dan hanya tersisa kita berdua dan petugas bus malam, dia masih mengajarkanku tentang teori yang ia buat. Maaf, bila aku terlihat linglung di hadapanmu, aku benar - benar tidak pernah memikirkan apa yang kamu sedang pikirkan sekarang.

Katanya, aku ini orang yang berani karena aku berani naik transjakarta malam hari. Katanya aku ini orang yang terbuka karena mau menerima ajarannya meski mengetahui ia adalah kakak kelasku yang baru kukenal sekitar 2 bulan ini.

Pukul 21.00 malam, tiba - tiba ia memutuskan pembicaraannya dan menyuruhku untuk cepat pulang. Katanya, "Udah cepetan pulang, nanti dikira pacaran lagi kita."

Setelah itu, aku pulang dengan wajah masih bertanya - tanya, yang kualami tadi nyata kan? Atau hanya ilusi?

Uncovered Phrase.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang