Prolog^

1K 63 5
                                    

"MANTAP HARIN...!"
Suara Satya memecah hening. Intonasinya sudah mirip supporter di pertandingan bola.
Artha yang setengah memasuki alam mimpi memilih tak peduli, sementara Vadi sudah bergerak antusias mendekati cowok berambut cepak itu.

"Gila! Berani banget nih cewek!" komentar Vadi setelah melihat ponsel yang tak lain menunjukkan sebuah unggahan dari akun Instagram cewek yang masih satu sekolah dengan mereka.

"Nggak sekalian pake bikini aja!"

Satya mengut-mangut setuju. Sebelum setengah merangkak mendekati Artha.

"Tha ... Tha .... Coba lo liat deh," ucapnya menunjuk-nunjuk ponsel. Tak ingin menyaksikannya seorang diri. Prinsipnya, sebagai seorang teman, harus saling merasakan(tapi banyak amnesianya kalau sedang senang, he....)

"Apaan sih? Pergi sana!"
Artha menepis Satya yang menyodorkan ponsel nyaris menyentuh hidungnya. Apa yang bisa dilihat dari jarak sedekat itu coba?

"Ini Harin, Tha. Lo harus kenal, lumayan buat cuci mata," jelasnya tanpa rasa salah bersalah karena yang keluar dari mulutnya bukanlah hal yang dikategorikan baik. Ibu Kartini pasti menangis perempuan hanya diibaratkan hiasan seperti itu.

"Tha~"

Artha berdecak, ingin rasanya ia menyumpal mulut Satya dengan kaus kaki yang dipakainya. Matanya benar-benar sudah terasa berat. Tak bisa mengerti kah? Jika Artha pergi ke markas(gudang sekolah) itu artinya ia ingin tidur.
Mau Harin atau siapa pun itu, rasa kantuknya jauh lebih penting sekarang!

"Tha buka mata elah. Ini bening tau, Vinda aja kalah." Vadi ikut bersuara. Hari ini sepertinya sangat spesial hingga mereka kompak untuk membuat Artha jengah.

"Serah lo pada. Sana-sana, gue mau tidur," usir Artha untuk kesekian kali.

"Eiits... Liat dulu bentaaar, aja." kali ini Satya menahan tubuh Artha yang hendak berguling memunggunginya.

Artha mengalah. Ia tahu seberapa gigih sifat Satya terutama untuk hal yang tak berfaedah. Mungkin tak apa merelakan sedikit waktunya untuk menengok ponsel itu daripada tak bisa tidur sama sekali karena Satya pasti akan terus mengganggu.

"Bening juga kalo pacar orang buat apa?"
Bibir Artha sedikit menipis, mencibir. Dua orang berbeda jenis tengah bergandengan dengan latar pantai yang memberi kesan romantis.
Seperti yang sempat 2 temannya itu bahas, penampilan si cewek memang 'berani'. Hotpants yang nyaris sependek celana dalam hingga croptop yang memamerkan kemulusan perutnya. Untuk ini Artha setuju dengan kedua temannya, cewek itu memang cantik, meski masih kalah kalau dibandingkan dengan Erina Febria, teman kakaknya yang kelas 12 itu.

Tapi sekali lagi, buat apa?
Cewek itu sudah punya pasangan dan dari foto saja Artha bisa menebak bahwa cewek itu senang hura-hura, manja, cengeng, tipe orang yang senang diperlakukan bak tuan Puteri. Sorry saja, Artha tak tertarik.

"Jadi buat apa Rossi tampil di TV?" tanya Vadi yang bagi Artha terlalu random. "Buat nunjukin kalo tikung-menikung itu halal men!"

Artha anggap angin lalu perumpamaan Vadi yang tak jelas itu. Ia mengambil ponsel dan headsetnya. Berpura-pura seolah mereka tak ada kadang menjadi pilihan terbaik. Sayangnya si tak tahu diri Satya langsung merampas itu darinya.

"Eh Kambing! Balikin!" Artha sudah menuruti mereka untuk melihat Harin-Harin itu. Kenapa mereka masih mengganggu?

"Semalam Chelsea kalah kan?"

Apa hubungannya?

"Anter-jemput Harin selama seminggu."

Artha yang sebelumnya hendak bernyaman-nyaman pada petak ubin nun dingin itu kontan menoleh dengan tatapan tajam.

"Ngomong apa lo?" Bukan Artha tak mendengar. Namun apa yang Satya ucapkan itu terlalu konyol dan tak bisa Artha terima.

"Kan Chelsea kalah, yang kalah harus apa Vad?" Satya menyikut Vadi yang tengah mengetikkan sesuatu di ponselnya.

"Turutin yang memang."

Jawaban Vadi membuat Artha mendengus. Mereka benar-benar kompak hari ini. Haruskah Artha memberikan penghargaan?

"Itu kan cuma kesepakatan lo aja, gue nggak bilang setuju!" protesnya. Semalam mereka memang menonton bola bersama di rumah Vadi. Artha bahkan tak begitu menghaminkan apa yang Satya ucapkan saat itu. Toh yang bertanding bukan club favorit Artha.

"Gue setuju sama Satya. Lagian lo nggak bakal rugi, Tha."
Vadi menyodorkan ponselnya--bisa dibilang manusiawi. Dia menunjukkan beberapa foto selca Harin. Jadi bisa disimpulkan Vadi mengetik tadi untuk mencari akun cewek itu.

"Tapi ya gila aja!" Harin punya cowok. Tak elit yang kalau misalnya nanti-nanti ada berita Artha berdarah-darah karena dituduh merebut pacar orang.

"Nggak bisa. Pokoknya lo harus antar-jemput Harin selama seminggu. Masa preman takut bonyok. Lagian nih ya, Si Alvaro tipe cupu. Tipe yang doyan belajar." jelas Vadi yang membuat Artha sedikit terkagum akan pengetahuan cowok itu. Siapanya Lambe Turah? Lancar bener itu ngegosip.

"Tapi kalo sama Harin dia main sosor-sosor aja sih," tambahnya seraya cekikikan. Entah apa yang Vadi dan Satya obrolkan, yang jelas mereka semakin kompak untuk menertawakan.

"Udah deh, pokoknya gitu. Cari info lebih lanjutnya di ig dia," final Satya seraya bangkit. Ia sedikit menepuk-nepuk celananya yang berdebu dengan mengirimkan ekspresi keputusan sudah mutlak dan tak bisa diganggu gugat.

Artha harusnya sadar dari dulu untuk tidak berteman dengan orang gila seperti mereka. Teman ada untuk membantu, bukan menjatuhkan.

"Serah, gue nggak peduli. Gue nggak bakal lakuin itu." Sekali lagi berdarah-darah karena cewek itu tak elit.

Satya yang sudah di dekat pintu kontan berbalik. Ia terlihat berpikir sejenak sebelum menarik senyum yang Artha tahu itu bukan pertanda baik untuknya.

"Oke nggak masalah, gue bisa tolelir kalo alasannya lo takut sama Vinda."

Meskipun bibir Artha terkatup, percayalah hatinya kini tengah menyumpah serapah.

091219

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang