16. Saingan^

238 38 1
                                    

Aksi Teletubiesan yang menporak-porandakan dada Artha pun usai begitu Harin mendapatkan telepon dari Alvaro. Cewek itu berbincang-bincang beberapa saat sebelum kembali menatap Artha.

"Turun yuk, Alvaro udah nunggu di bawah." Harin berdiri kemudian menepuk-nepuk celananya menghilangkan debu.

"Loh Alvaro ada di sini? Katanya nggak suka yang rame-rame."
Kalau tak salah ingat, Harin pernah mengatakan itu ketika di Wahana Bermain itu kan?

"Alvaro diem di kantor. Biasa, apel sama Pak Rasid."

Artha kontan melotot. Alvaro? Pak Rasid?

"Eh bukan itu maksud gue," ralat Harin cepat, sadar kalimatnya terlalu ambigu. Artha pasti salah paham, apalagi Harin pernah membahas bahwa Alvaro sakit.

"Alvaro lagi bimbingan sama Pak Rasid, dia bentar lagi olimpiade nasional. Alvaro bukan sakit menyimpang kayak gitu ya."

Daripada menunggu Artha yang masih berpikir ucapan Harin mana yang benar, Harin menarik tangan cowok itu untuk turun.

"Percaya aja elah, gue nggak bohong. Alvaro nggak semenggelikan itu."

Mereka berjalan ke ruang guru. Keadaan di sini lebih sepi kontras dengan lapangan yang heboh menikmati musik dari penyanyi yang tengah naik daun itu.

Alvaro ada di sana, berdiri dengan tas di punggungnya. Dengan keadaan anak lain yang berpesta, kerajinan Alvaro tak perlu diragukan lagi.

"Pulang sekarang?" tanya Alvaro.
Dari awal Artha bertemu cowok itu, ekspresinya masih tetap datar.

"Mmm...." Harin berpikir.

"Acaranya kan masih lama, gue bisa anter Harin kalo lo mau pulang duluan," Artha menyela, yang setelahnya tatapan datar Alvaro itu mengarah padanya.

"Nggak, Harin pulang sama gue. Lagian ini udah lebih dari seminggu kan?"
Alvaro bukan lagi datar-datar tembok karena sifatnya. Artha bisa merasakan adanya emosi lain.

"Harin masih mau nikmatin acara ini, jadi biar gue aja yang anterin dia nanti." Sayangnya Artha tak gentar melihat emosi itu.

"Rumah Harin ada di samping gue, jadi lebih efektif kalo Harin pulang bareng gue." Dan rasanya bukan Artha saja yang keras kepala di sini.

"Ya tapi--"

"Eh apaan sih jadi rebutan gini?" Harin yang mulai pusing pun angkat bicara.

"Gue nggak bakal ikut salah satu antara kalian. Masa nggak ada yang nyadar sih tadi siang gue ke sini bawa mobil sendiri?" Harin bertolak pinggang dan menggeleng-gelengkan wajah kesalnya. Tak habis pikir dengan 2 manusia di depannya.

"Kalo mau duluan, nggak papa kok Al," ucap Harin penuh pengertian pada Alvaro yang kemudian bergilir pada Artha.

"Lo juga kalo mau nonton, nonton aja, gue ada janji sama anak-anak DC."

Artha terlihat kecewa, namun sebelum sempat mengtakan sesuatu, Harin sudah lebih dulu melenggang meninggalkan mereka.

"Rin!" teriak Artha, namun cewek itu sama sekali tak menggubrisnya.

Artha mendengus dan melirik Alvaro yang belum berganti kulit wajah.

"Salah lo nih!" tudingnya yang hanya ditanggapi angin dari Alvaro yang langsung berlalu.

Mulut Artha terbuka, bagaimana mungkin Harin bisa dekat dengan makhluk seperti itu?

oOo

Harin membuka matanya begitu mendengar suara burung yang mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar. Ini sering terjadi di pagi hari. Entah burung itu sengaja ingin membangunkannya atau terlalu bodoh bahwa yang di kaca hanyalah bayangan sementara hal yang ia tuju ada di belakangnya.

Harin mengusap wajahnya, ia mengambil ponsel di nakas untuk melihat jam. Jam dindingnya mati 3 hari lalu dan Harin selalu lupa untuk mengganti baterainya.

Artha :

Alvaro nggak nganggap lo adeknya.

Saingan gue berat dong?

Harin terdiam melihat pesan yang dikirim Artha semalam ketika ia sudah tidur. Jemarinya mengetuk-ngetuk pipi sebelum akhirnya mengetik sesuatu untuk membalasnya.

Harin:
Maksudnya?

Harin bangkit, menarik handuk yang tergantung dan masuk ke kamar mandi. Harin tak boleh terlihat lusuh di hari minggu yang cerah ini.

oOo

Harin memang bukan lagi anak 8 tahun, memakan sereal dengan siraman susu memang tak cocok untuk usianya, tapi Harin mana bisa menolak ketika om Sartia menawakan bahkan membuatkannya.

"Om pulang kapan? Perasaan semalam belum ada deh," tanya Harin pada pria 42 tahun yang baru saja duduk seraya menaruh secangkir kopi yang mengepul.

"Jam 3 tadi."

Dan sekarang mau pergi lagi?  Harin mengamati penampilan Om Satya yang sudah rapi, bahkan dasinya sudah terpasang.

"Ini kan hari minggu om."

"Ada survei, jadi ya ... mau gimana lagi?"

Harin mengangguk mengerti.

"Om pergi dulu ya, bilangin sama, Al."
Om Satria bangkit. Kopinya bahkan belum dicicipi sama sekali. Lalu untuk apa dibuat?

"Hati-hati Om!" Harin setengah berteriak karena Om Satria sudah agak jauh. Beliau pun mengacungkan jempol sebagai tanggapan.

Harin menghabisakan sisa serealnya. Ia pun bangkit dan mencuci mangkuk serta sendok kotornya. Berlanjut mengeringkannya dengan lap dan menyimpannya rak.

"Ya Ampun!" Pekik Harin kaget begitu berbalik Alvaro sudah ada di depannya.

"Ih, Al. Ngagetin!"

Alvaro hanya tersenyum singkat sebelum meraih kopi milik Om Satria yang masih utuh itu.

"Punya Papa atau punya lo?" tanyanya sebelum mencicipi rasa pahit minuman itu.

"Niat gue setelah numpang makan, mau numpang tidur juga. Jadi itu dipastikan bukan milik gue," jelas Harin seraya berjalan ke ruang tengah. Ia langsung menjatuhkan diri pada atas sofa dengan posisi tengkurap. Harin membuka sebelah matanya guna melihat Alvaro yang ternyata mengikutinya. Cowok itu mengambil remot dan menyalakan TV.

"Baik banget sih yang mau mijitin gue, tau aja kaki gue itu pegel banget."

Alvaro mendengus mendengar ucapan manis yang pada intinya menyuruh memijat kaki cewek itu. Alvaro bisa saja melengos pergi, tapi melihat seperti apa cewek itu tampil semalam, ia jadi tak tega. Harin cengengesan tak jelas.

"Alvaro emang baik, makin sayang deh."

Tangan Alvaro yang sudah bergerak di kaki Harin mendadak berhenti, ia tercenung.

"Eh gimana sih, dipuji malah berhenti?"

02012020

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang