12. Sebuah Rasa^

270 38 0
                                    

Tak biasa suasana antara Alvaro dan Gibran kaku. Meskipun dalam garis persahabatan ini watak mereka berseberangan, tapi mereka tak pernah di titik seperti sekarang.

"Gue cuma mau anterin tas kalian berdua," ucap Gibran membuka suara.  Ia menatap Alvaro yang hanya berekspresi datar. Bukan waktu sebentar ia mengenal cowok itu, di balik kedatarannya Gibran tahu bahwa Alvaro tengah gelisah.

"Ada cewek yang deketin gue."

Ini yang Gibran tunggu sejak tadi, menunggu Alvaro bercerita. Meski Harin sudah memberitahu tentang kejadian itu, berinteraksi secara langsung membuat Gibran tahu bagaimana keadaan Alvaro sebenarnya.

"Gue takut."
Napas Alvaro mulai tak stabil. Ia menunduk, tatapannya liar ke lantai. Gibran paham. Dulu bahkan ini adalah pemandangan sehari-hari.

"Harin datang, dan gue dorong dia."

Gibran mengangguk mengerti. Bukan saatnya menyela. Pendengar adalah yang Alvaro butuhkan sekarang.

"Gue takut sama Harin."

Gibran tertegun beberapa saat. Gibran tahu betul masalah Alvaro, ia bahkan juga tahu bagaimana Alvaro bisa berdiri seperti sekarang. Ungkapan Alvaro membuatnya terkejut. Bukan hanya Alvaro, karena sekarang Gibran juga merasa takut dengan definisi yang berbeda.

Alvaro mengangkat wajah dan menatap Gibran. Tak ada raut dingin, hanya kecemasan dengan rasa tertekan yang begitu jelas.

"Gue nggak mau takut sama Harin, gue nggak mau benci sama Harin, gue pengen ... Harin tetap di sisi gue."

Pernyataan itu tak elak jauh lebih mengejutkan Gibran.

oOo

Harin melangkahkan kaki, setengah berjinjit ketika mendekati pintu kamar Alvaro. Sempat menahan tangannya untuk ketukan pertama, Harin pun memantapkan diri untuk mengetuknya lagi.

"Al...."

Tok! Tok! Tok!

"Al....."

Ceklek!

Harin mundur selangkah, ia tersenyum menyambut Alvaro yang tengah merapikan kemejanya.

"Kenapa, Rin?"

"Mmm... Lo mau sarapan nggak?" Harin setengah meringis takut-takut yang diucapkannya bukan kalimat yang bisa diterima oleh Alvaro.

"Lo masak?"

Ada rasa lega luar biasa ketika mendengar respon cowok itu. "Hehe.... Gue kan nggak bisa masak, tadi gue beli bubur di depan."

Alvaro terlihat berpikir sejenak. "Oke deh," putusnya tak banyak neko-neko.

Harin menyatukan kedua telapak tangannya dengan gembira. "Yaudah ke rumah gue yuk."

"Bentar!" Intonasi Alvaro terdengar berantakan. Barusan Harin hendak meraih tangannya, namun dengan refleks tangannya menghindar dan menjadikan dasi di bahunya sebagai alibi.

"Gue pake dasi dulu," Alvaro berusaha menormalkan intonasinya. Selembut mungkin, agar cewek di hadapannya tak tersinggung atas apa yang barusan ia lakukan. Tapi dari ekspresinya, sepertinya Harin tak menyadari hal itu.

"Boleh nggak kalo gue aja yang pasangin?"

Apa Harin tengah mengujinya? Memastikan bahwa Alvaro sudah baik-baik saja tanpa rasa takut yang menggerogoti dirinya?
Alvaro menelan ludah.

"Boleh." Alvaro tak ingin berbohong sebenarnya, tapi ia juga tak ingin membuat Harin berpikir bahwa ia membenci cewek itu.
Memang rasa waswas itu tak bisa ia pungkiri, tapi membenci Harin tak pernah terlintas di benak Alvaro sedikit pun.

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang