6. Harapan^

267 43 0
                                    

Artha membawa Harin pada sebuah rumah yang beberapa blok dari sekolah. Harin tebak itu bukan rumah Artha karena cowok itu memencet bel ketika mereka sudah berada di depan pintu.

"Tha lo--" Entah apa yang cowok di depannya akan katakan, keningnya mengernyit dengan kepala meneleng begitu melihat Harin. "Harin?"
Dari penampilannya terlihat sebaya, mungkin dia teman Artha.

"Ini Harin kenapa?" Mungkin bukan hanya dia, orang-orang pasti heran dengan penampilan acak-acakan Harin ini. Sudut bibir kirinya berdarah, juga luka cakaran di rahang dan dahi yang cukup dalam.

"Masuk dulu."

Harin dan Artha menurut. Mereka berjalan ke ruang tengah kemudian duduk pada kursi bludru berwarna cokelat. Cowok--si pemilik rumah ini--memerhatikan Harin dengan raut cemas.
Oke sepertinya dia kenal Harin, sementara sisi lain Harin kini kebingungan harus memanggil dia apa. Takut-takut membuat cowok itu tersinggung.
Mungkin dulu pernah sekelas? Atau... Entahlah.

"Btw kenapa lo bisa gini Rin?" tanyanya akrab. Apa tanpa disadar Harin ini terkenal ya?

"Vinda." Artha menjawab, membuat Harin tersadar bahwa barusan dirinya yang ditanya.

"Loh kok bisa?" tanya cowok itu yang kini beralih fokus pada Artha. Menuntut penjelasan.

Tidak! Harin harus segera menjelaskan semuanya sebelum Artha membuat orang lain salah paham seperti dirinya.

"Tha sebenernya gue yang nampar Vinda duluan."

"Gue tau," jawab Artha yang seketika membuat Harin melongo.

"Kotak P3K di mana Vad?" Tak hanya mengalihkan pembicaraan Artha pun nampak tak peduli dengan ekspresi Harin.

"Di atas, di kamar gue."

Artha langsung pergi. "Nggak usah dengerin mulut Vadi," intruksinya ketika mulai menaiki tangga. Seolah bisa membaca apa yang akan Vadi lakukan. Ah iya sekarang Harin tahu nama cowok itu.

"Iya iya sana lo!" Vadi berteriak ke arah Artha, namun sedetik kemudian beralih pada Harin. Tak menyerah untuk mengisi kehausan informasi itu.

"Eh lo bisa ceritain apa yang terjadi nggak?"

Harin mengangguk. Meski Artha bilang dia tahu, tak adil rasanya kalau ia tetap bungkam. "Gue berantem sama Vinda, terus Artha putusin dia," Harin memulai dengan sajian garis besarnya. Ia bukan tipe yang bercerita A-Z secara beruntun. Toh nanti Vadi akan menanyakan apa yang ingin ia tahu.

"Putus?"

Entah Harin yang salah lihat atau memang Vadi yang begitu antusias. Ini kan hubungan orang, apa dia tak terlalu ikut campur?

"I... Iya."

Vadi menghela napas lega. "Syukur deh kalo gitu."

Maksudnya?

"Artha sama Vinda udah pacaran selama 2 tahun. Artha sayang banget sama Vinda, tapi dia ngecewain Artha. Dia selingkuh. Pokoknya waktu-waktu itu kacau banget. Vinda mohon-mohon sama Artha agar nggak ninggalin dia. Dan terjadilah sebuah hubungan di mana Artha sudah nggak cinta dan Vinda yang terus berkampanye bahwa dia bakal setia."

Harin mengerti sekarang. Artha tahu Harin yang memulai tapi ia berpura-pura agar ada alasan untuk putus dengan cewek itu. Wah... Harin pahlawan dong?

"Denger Artha putus, sebagai sahabat gue seneng. Artha nggak perlu repot dengan hubungan yang nggak jelas itu."

Satu yang Harin suka dari persahabatan antar cowok. Mereka terlihat bodo amat bahkan saling ejek satu sama lain, tapi kenyataannya mereka sangat peduli.

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang