10. Tragedi^

251 44 1
                                    

Setelah memasukkan mobilnya ke dalam garasi, Alvaro berjalan ke arah pintu. Pintu yang tak ia kunci karena tahu Harin pasti ke sini.
Dengan lampu-lampu yang sudah menyala, Alvaro tak perlu bertanya lagi.

"Anteng banget ya apel sama soal-soal." Ucapan Harin menyambut kedatangan Alvaro. Dia duduk di sofa seraya memeluk sebuah bantal.

"Dari kapan, Rin?" Alvaro menjatuhkan tasnya. Sementara tangannya bergerak melepas sepatu. Dapat terlihat gurat lelah di wajahnya itu.

"Jam 5 kayaknya."

"4 jam?"

Harin mengangguk

"Nggak jenuh di sini sendirian? Ayah kan masih di Bogor?" tanya Alvaro yang selanjutnya ia sadari ia salah memilih kalimat basa basi.

"Bedanya di sini sama di rumah apa?" Harin setengah mencibir, mencibir nasibnya yang terlalu mendrama.

"Eh lapar nggak? Mau bikin mie rebus?" Alvaro mengalihkan topik. Tak ingin suasana menyesakkan itu memenuhi lagi

"Pas banget, kuning telornya jangan pecah ya?"
Raut Harin antusias, Alvaro tahu itu hanya topeng belaka.

Meskipun terlihat lelah, Alvaro pun mengangguk, ia berjalan ke arah dapur.

"Al...."

Alvaro kembali menoleh ke arah belakang, melihat Harin yang sudah menunduk serta meremas bantalnya. Terbukti kan?

Alvaro kembali lagi. Berjongkok di depan cewek itu. Matanya mendapati Harin yang sudah berkaca-kaca. Tidak, ini bukan tangisan pertama, terlihat tanda-tanda kalau sebelum Alvaro datang pun cewek itu sudah menangis.

"Kenapa?" tanya Alvaro lembut. Ia mengambil helaian rambut Harin dan menyelipkannya ke belakang telinga.

"Mereka nggak inget."

Alvaro menghela napas, seolah ia juga merasakan sesak yang Harin terima.

"Ini yang nggak gue suka di hari ulang tahun lo. Lo lebih cengeng dari biasanya."

Meskipun ucapan Alvaro tak bersifat menghibur, tapi Harin dibuat tenang karena cowok itu kini memeluknya.

oOo

Bel istirahat baru saja berdering. Pak Rahman yang tengah memberikan wejangan menutup pembicaraan. Beliau berjalan keluar diikuti anak-anak yang sudah kelaparan.

"Kantin Al?" tanya Harin setelah merapikan barang-barangnya.

"Duluan aja, gue mau ke Pak Rasid dulu," jawab Alvaro seraya mengeluarkan kertas-kertas soal dari dalam tasnya.

"Belajar mulu, udah berapa hari noh Harin lo anggurin?" Tiba-tiba Gibran datang dan merangkul bahu Alvaro. Dia teman dekat Alvaro, sama seperti Harin. Hanya saja Gibran bukan tipe yang suka ngintil seperti cewek itu. Cowok itu juga normal-normal saja berinteraksi dengan yang lainnya.

"Harin diapelin orang ngamuk lo."

Harin tertawa sementara Alvaro sudah menepis tangan cowok itu. Beginilah mereka, yang super tembok ada, yang super ember juga ada.

"Udah Rin, lo sama gue aja, kapan lagi kan gue jalan sama cewek cantik." Gibran mengedipkan sebelah mata yang lagi-lagi ditanggapi dengan tawa oleh Harin.

oOo

Gibran menepati ucapannya, ia memang pergi ke kantin bersama Harin tapi setelah ia bertemu dengan Sofi, pacarnya. Cowok itu menghilang entah ke mana.

Atap sekolah pun menjadi pilihan Harin. Tidak ada Alvaro, tidak ada Gibran, memang Harin punya siapa lagi? Menghampiri Fanya dan Hana? Itu hanya akan membuat Harin terlihat menyedihkan.

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang