22. Pengakuan^

254 37 0
                                    

Artha meraih gelas yang berisi air putih setengah itu. Ia meminumnya dengan tatapan nyalang.
Harin terus menangis hingga akhirnya tertidur pada jam 2 pagi. Artha pun membawa gadis itu ke kamar dan menidurkannya agar lebih nyaman.

Sementara itu Artha memilih dapur untuk ditujunya. Ia berniat membuat sesuatu yang bisa dimakan oleh Harin ketika terbangun nanti.

Jangan tanya seberapa kaget Artha begitu membuka lemari gantung yang ia kira berisi bahan makanan justru puluhan botol minuman. Ternyata omongannya tentang mengoleksi itu benar. Lalu di mana cewek itu menyimpan obatnya? Dengan senang hati Artha akan hancurkan sekarang.

Artha menoleh begitu mendengar suara langkah Harin mendekat ke arahnya. Berbalut baju tidur bermotif garis yang terpaksa Artha pakaikan karena tak mungkin membiarkan tubuh Harin terus terbuka. Bisa-bisa dia sakit.

"Kenapa bangun? Masih jam 4, Rin."

Harin menarik kursi di seberang Artha,  mengambil gelas dan menenggak habis air yang sisa seperempatnya itu.

Harin mengangkat jemarinya dan sedikit memijat pelipis yang terasa pening. Kepalanya terasa berat apalagi ketika ia bangkit dari tempat tidurnya tadi.

"Kenapa lo nyelamatin gue?" tanyanya tanpa menghentikan aktivitas. Ada sedikit kecewa kenapa ia masih bisa merasakan sakit sekarang.

"Karena lo nggak pantas mati."

Harin terkekeh sinis. "Bukannya lo tau kalau gue nggak ada harapan?"

"Alvaro?" Artha sadar mengucapkan itu membuat sesuatu dalam dirinya melesak jatuh.

Harun mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya sementara tatapan nyalang. "Alvaro memang jadi alasan gue bernapas sampai saat ini."

Dan Artha kehilangan napas saat mendengar itu.

"Gue pengen Alvaro sembuh. Sekarang Alvaro suka gue, gue rasa cukup."

"Terus lo mau hancurin Alvaro?" seru Artha tak setuju. "Lo berusaha bikin Alvaro bangkit, terus lo sendiri juga yang mau jatuhin dia, Rin?"

Harin tersenyum tipis. Gibran dan Artha memang tak bisa dibedakan. "Ya terus gue harus apa?  Sama Alvaro dan terus-terusan ngerasa bersalah sama lo?"

Masalah ini rumit. Di mata orang-orang mungkin ini sebatas pilihan, tapi pada kenyataannya Harin tak punya kesempatan untuk memilih. Entah itu pilihan yang egois, atau pilihan seperti mengalah, semuanya serba salah. Alvaro, Artha, Harin tak bisa memilih.

"Gue bahagia sama lo, Tha."

Ungkapan itu membuat Artha terkejut dan mematung.

"Gue suka sama semua tindakan lo, bahagia ketika lo ungkapin perasaan lo."
Harin merasa dirinya diharapkan, bisa dicintai oleh orang lain.
Tapi sekali lagi, ketika Harin merasa yakin akan bahagia, ada harga yang harus dibayar.

"Tapi Alvaro ternyata mandang gue sebagai cewek. Seperti kata lo, gue yang bikin Alvaro bangkit. Apa gue juga yang harus jatuhin dia?" Ada suar putus asa yang langsung ditepis dengan wajah arogan.
Harin mencondongkan tubuhnya, menatap Artha lebih dekat.

"Jadi ... bukannya lebih baik kalau gue mati aja?"

Artha menggeleng tegas. "Gue bilang itu bukan pilihan." Bahkan sampai Harin memohon-mohon, sampai kapan pun Artha akan menentang itu.

"Emang lo pikir ada hal yang bisa gue pilih?" Harin tertawa sinis. Menertawakan dirinya sendiri tepatnya.

"Hidup sama Alvaro dan nggak usah pikirin gue." ucapan Artha tegas dengan hati yang bertentangan.

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang