Harin duduk termenung, membiarkan angin malam menerpa tubuhnya. Ia tengah berada di atas balkon yang tak satu pun lampunya dinyalakan.
Seharian ini Artha selalu menemaninya, cowok itu baru pulang 1 jam yang lalu, itu pun Harin yang maksa dan berjanji tak akan melakukan hal yang nekad.
Tapi Harin sendiri ragu apa ia bisa menepati janji itu atau tidak.Harin benar-benar tak punya pikiran tentang esok atau seterusnya. Harin tahu mengakhiri hidup adalah hal terburuk, tapi Harin harus apa selain itu? Hidup kosong seperti robot tanpa pikiran dan perasaan? Sampai kapan?
Harin berdiri kedua tangannya bertumpu pada pagar balkon. Tatapannya nyalang ke bawah, bukan untuk melompat, ia hanya sedikit menikmati termenung dalam situasi itu. Mungkin sampai menunggu orang yang samar-samar tadi Harin lihat di bawah sampai di sini.
"Rin, lo inget kan udah janji sama gue?"
Kening Harin mengernyit, ia salah lihat? ia pikir yang diihat di bawah tadi itu Alvaro, bukan Artha.
Ah Alvaro kan masih di Medan, Harin pasti sudah berhalusinasi.oOo
"Apa gue juga nggak boleh cari angin?" ucap Harin begitu Artha berdiri di sampingnya.
"Iya."
Harin memasang wajah protes sekaligus jengkel.
"Angin malam bisa bikin sakit. Apa pun yang bikin lo nggak baik-baik aja, nggak boleh."
"Tha...."
Artha menarik senyuman kemudian merangkul bahu Harin. "Ke dalam yuk, gue bawa sesuatu buat lo."
Harin hanya menurut. Saking menurutnya malah mirip seperti boneka yang tak bertingkah apa pun ketika Artha mendudukkannya.
Harin menatap heran ketika cowok itu menyodorkan sekotak nasi plus sayuran dan lauk lainnya yang sekilas dilihat pun itu pasti makanan sehat.
"Mau gue suapin?" tanyanya.
Harin menggeleng. "Gue nggak lapar."
Artha tak langsung gentar. "Ini gue yang bikin loh?"
"Oh ya?" Meskipun terkesan tak peduli setidaknya Harin mau menanggapi.
"Iya, mulai sekarang lo nggak perlu makan junkfood karena di samping lo ada chef handal."
Harin kembali menatap Artha dengan tanya.
"Sekali lagi apa pun yang berdampak buruk buat lo gue pasti larang."
Harin menarik kakinya dan memeluk lutut. Satu helaan napas terdengar.
"Tha...."
Artha menyimpan kotak makan itu. "Kenapa?"
"Gue masih bingung apa yang harus gue lakukan."
"Bernapas," jawabnya simple. "Lo kan udah janji buat itu," juga ingatnya.
Harin menggeleng kecil, bukan itu yang ia maksud. Apakah Artha memang tak mengerti atau ia sengaja tak mengerti? Tapi Harin benar-benar butuh sebuah jawaban. Ia bingung dengan kekosongan ini.
"Ada gue, Rin. Menurut lo gue bakal biarin orang yang gue sayang gitu aja?" ucap Artha seraya mengusap puncak kepala Harin.
Harin menarik tangan Artha itu kemudian menangkupnya.
"Gue bisa bahagia?" tanyanya ragu."Kita bisa bahagia," ucap Artha tegas.
oOo
Harin menatap layar ponselnya seraya menunggu antrean di depannya habis. Ia iseng menonton cuplikan-cuplikan DC ketika pentas itu.
Keadaannya sudah baik, ditambah lagi kemampuan bertopengnya. Secara fisik ia terlihat sangat baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario [Tamat]
Teen FictionArtha kalah taruhan, temannya memaksa ia untuk mengantar-jemput seorang cewek yang sering mereka stalk di Instagram sebagai hukuman. Cewek itu Harin, yang Artha lihat dari postingannya saja cewek itu sudah punya gandengan. Menuruti keinginan Satya...