19. Pilihan^

241 41 1
                                    

Sepanjang perjalanan, tak ada obrolan yang berarti. Harin terkadang pura-pura tak dengar ketika Artha bertanya.

"Makasih."

Artha menerima helm dari Harin dengan senyuman.

"Ini yang terakhir ya."

Artha mengernyit. "Maksudnya?"

"Ini terakhir kalinya lo nganter gue."

Air wajah Artha mengeruh. "Terakhir?"

"Sorry, gue nggak bisa." Harin menunduk. Matanya menatap liar paving block di bawah.

"Maksudnya?" Artha kembali menuntut penjelasan.

"Untuk jawaban yang kemarin, gue nggak bisa."

Bagai ditimpa badai di tengah sahara, Artha merasa jiwanya hilang entah ke mana. Tubuhnya mematung kaku, bahkan ketika Harin sudah pergi dari sana, Artha tak bisa melakukan apa-apa.

oOo

Artha benar-benar tak menyangka ini terjadi. Ia tak mengira bahwa Harin akan menolaknya. Bukan Artha terlalu percaya diri, ia punya alasan mengapa merasa demikian.

Respon Harin setelah Artha menyatakan perasaannya kemarin tidak buruk. Bahkan 99% menjadi gambaran bahwa ia akan diterima. Harin tetap enjoy dan yang lebih menonjol adalah ketika Harin melambai tangan, hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya.

Namun entah mimpi macam apa semalam hingga ia mendapati hal yang begitu berlawanan dengan ekspektasinya ini.

Kenapa? Apa salah Artha?

"Kemana oy! Baru juga dateng udah mau pergi aja," ujar Satya begitu Artha bangkit dari duduknya.

"Markas."

Satya menahan Artha, melirik wajah sahabatnya itu dengan seksama. "Lo nggak keliatan ngantuk Tha," komen Satya dengan kening berkerut. "Kalau suram iya."

Setelah mengucapkan itu Satya mendapatkan tonjokkan dari Vadi.

"Ngomong lo!"

Tak biasanya Vadi membela, biasanya ia akan ikut-ikutan membully Artha. Tapi meskipun begitu, itu tak cukup untuk membuat Artha tersanjung dan tetap di sana. Cowok itu melengos pergi tanpa memperdulikan kedua temannya.

"Artha kenapa sih?" tanya Satya, duduk di bangku samping Vadi.

"Mungkin ditolak Harin," terkanya.

"Artha nembak Harin?" tanya Satya tak percaya. Pengetahuan Satya hanya sebatas Artha menjalankan tugasnya, sementara Vadi pernah dijadikan teman cerita untuk membahas cewek itu.

"Ya ... mungkin." Vadi mengangkat bahunya. Artha pernah bilang kalau dia suka cewek itu.

"Tapi menurut lo ini gawat nggak sih? Gue liat lebih suram dari ketika Vinda ketauan selingkuh."

oOo

Harin membereskan alat tulisnya sebelum pergi ke kantin seperti anak yang lainnya.

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang