Alvaro menatap Harin yang masih setia mengeluarkan air mata. Matanya bengkak dengan hidung berwarna merah. Alvaro mengangkat tangan dan mengusap air mata itu.
"Jangan nangis terus dong," ucapnya lembut.
Harin merapatkan bibirnya untuk membungkam isakan.
"Ma...af." ucapnya sedikit tak jelas. Alvaro menegakkan tubuhnya yang otomasis memberi kesan, ia tahu mengerti yang dibahas Harin dan ia tak suka akan hal itu.
"Lo belum makan, lapar nggak?" Alvaro terlalu jelas menunjukkan bahwa ia menghindar. Iya, Alvaro memang menghindar. Ia tak mau mendengar Harin meminta maaf lagi, terlebih ini ada hubungannya dengar Artha. Bukan bermaksud egois di situasi yang tak tepat, tapi ini benar-benar mengganggunya.
Harin menunduk. "Maaf...."
Di telinga Alvaro kata itu tak ubahnya belati yang menyayat. Kata itu adalah bentuk lain dari, rasa Harin untuk Artha tak main-main. Ia bisa sehancur itu karena kekecewaan terhadap Artha.
"Lo nggak salah, maaf buat apa?"
Harin menunduk. Buat apa? menangis di depan Alvaro seperti ini sudah sebuah kesalahan. Menunjukkan seberapa hancur ia karena Artha di depan Alvaro adalah sebuah kesalahan. Harin sadar itu, namun ia juga tak mengerti harus bagaimana selain meminta maaf.
"Lo tunggu dulu ya, gue bikinin nasi goreng."
Harin hanya meremas roknya ketika Alvaro berlalu. Berapa banyak Harin mengecewakan Alvaro? Berapa banyak ia memberi cowok itu luka?
Sementara di sisi lain, Alvaro bersandar pada kulkas dengan tubuh yang perlahan merosot hingga akhirnya terduduk di lantai.
Ia menunduk dengan tangan yang bergerak mengurut kepala. Mengingat semua hal yang terjadi dalam hidupnya.
Tentang kejadian yang membuahkan sebuah trauma, juga tentang moster kecil yang tanpa putus asa ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah peri penyelamat.Ya, dia Harin. Gadis yang penuh semangat, keceriaan, yang selalu bisa membungkus rapat semua kesedihannya.
Gadis bebal yang tak pernah menyerah meski Alvaro selalu mengusirnya. Bahkan dia berhasil mengubah keadaan hingga Alvaro bergantung padanya.
Ya, Alvaro bergantung pada Harin, ia tak bisa membayangkan bagaimana kalau Harin tak ada di sampingnya, itu ketakutan terbesar Alvaro.
oOo
Alvaro kembali ke ruang tengah bersama sepiring nasi goreng yang tadi ia janjikan. Langkahnya terhenti di ambang sekat antara dapur dan ruangan itu.
Melihat Harin yang duduk dengan pandangan melamum. Ia tak terisak lagi hanya memandang kosong dengan jejak-jejak tangisan yang masih ada.
"Harin pengen balon...." meskipun pelan seperti bisikan, Alvaro bisa mendengarnya. Bahkan ia bisa merasakan sesak yang tersirat dalam kalimat itu.
"Harin pengen es krim... Harin pengen permen kapas."
Harin menunduk, ia mulai terisak lagi, isakan yang begitu pelan."Harin pengen Papa...."
Alvaro memejamkan mata. Itu adalah keinginan yang tidak pernah bisa Alvaro wujudkan.
Harin kembali berucap, dan kalimat itu membuat Alvaro merasa jantungnya ditarik dengan tiba-tiba. Ia memalingkan muka, menyembunyikan mata yang memerah, meskipun Harin jelas tak akan melihatnya.
Entah berapa lama Alvaro berdiri di sana, yang jelas nasi goreng di tangannya sudah dingin juga Harin sudah menelungkupkan kepalannya pada sandaran sofa dengan bantalan tangan. Karena menangis, ia jadi kelelahan dan terlelap.
Alvaro mendekat, ia menaruh piring itu di meja. Ia tersenyum kecil sebelum duduk di samping Harin yang sudah lelap.
Tangan Alvaro bergerak untuk menyingkirkan rambut-rambut yang menempel pada wajah karena air mata.
'Kenapa gue ditinggalkan Al?'
Ratusan kali Harin pernah mengucapkan hal itu. Tidak, itu bukan pertanyaan, Harin tak butuh jawaban. Ia bahkan melarang Alvaro ketika hendak mengucapkan kalimat menghibur. Ya memang selain tujuan menghibur Alvaro bisa apa lagi?
'Gue pengen jalan-jalan, temenin yuk?'
Harin berucap dengan nada riangnya. Meski Alvaro tahu beberapa saat lalu gadis itu menangis sendiri di kamarnya. Matanya tak bisa membohongi itu.'Gue pengen dipeluk Al.'
ucap Harin yang malam-malam datang ke rumahnya. Tak bercerita apa-apa. Memeluk Alvaro sampai tertidur dan mengigau. Mengutarakan semua rasa sakitnya, semua rasa kecewanya.'Gue kangen mereka Al. Tapi kenapa mereka enggak?' ketika SMP, hampir setiap malam Harin mengatakan itu.
'Kenapa gue kecewa ya Al? Padahal kan gue tau mereka nggak peduli haha.'
Alvaro membuang muka, mengingat semua itu hanya semakin menaikan emosinya. Harin tak pantas mendapat ketidak adilan seperti ini. Dia gadis yang baik. Harusnya ia mendapat kasih sayang pantas.
"Harin pengen bahagia."
Alvaro terkejut mendengar itu. Ia kembali pada Harin yang masih tertidur. Iya, dia mengigau. Membuat hati Alvaro terasa teriris di saat bersamaan. Apa yang telah Alvaro lakukan? Ia masih statis pada ego sendiri padahal jelas-jelas Harin sudah seperti ini.
Tangan Alvaro bergerak mengusap kepala Harin, membuat dia yang semula terlihat gelisah kembali tenang. Harin tak pantas mendapatkan semua penderitaan ini. Ia tak pantas diperlakukan tak adil, ia tak pantas selamanya untuk selalu berada di sisi mengalah, Harin berhak bersuara.
"Lo bisa bahagia kok Rin."
Alvaro mendekatkan wajahnya, ia mengecup dahi Harin dengan mata terpejam cukup lama.
"Janji sama gue, lo harus bahagia." saat itu, bulir bening keluar dari sudut matanya.
oOo
Harin melangkahkan kaki memasuki sebuah restoran mewah. Harin tak sempat mencari baju yang tepat. Ia hanya memakain dress santai berbahan shiffon. Bahkan tak sempat berias yang tentunya sangat kurang untuk disandingkan dengan restoran semewah ini. Salahkan Alvaro yang tiba-tiba menyuruhnya kemari.
"Atas nama Alvaro Mbak."
Wanita bersanggul rapi itu menuntun Harin dan mempersilahkan Harin masuk. Harin akan mengomeli Alvaro nanti karena memilih tempat seperti ini hanya untuk ketemuan. Dia memang kaya, tapi bukan berarti bisa seenaknya seperti ini. Banyak kok cafe yang menawarkan suasana private seperti yang Alvaro suka. Tidak perlu sampai mereservasi restoran mewah berbintang seperti ini.
Harin mengangguk kecil dan berterima kasih pada wanita itu. Ia mulai berjalan. Harin siap mengomel, ia tahu besar usaha Alvaro untuk menghiburnya, tapi tidak harus dinner seperti ini juga. Harin menerima semua yang Alvaro lakukan. Sekecil apapun. Karena ia tahu perjuangan yang Alvaro lakukan besar. Dibelikan es krim yang dibeli Alvaro sendiri di minimarket, sama berharganya dengan diberi berlian yang diambil sendiri dari perut bumi. Sebesar itu perjuangan yang Alvaro lakukan.
Mendengar ketukan dari sepatu yang Harin kenakan, Alvaro yang tengah duduk membelakanginya bangkit dan berbalik.
Langkah Harin berhenti, air wajahnya berubah seketika. Dia bukan Alvaro. Tapi cowok yang tak pernah ia lihat lagi sejak seminggu yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario [Tamat]
Teen FictionArtha kalah taruhan, temannya memaksa ia untuk mengantar-jemput seorang cewek yang sering mereka stalk di Instagram sebagai hukuman. Cewek itu Harin, yang Artha lihat dari postingannya saja cewek itu sudah punya gandengan. Menuruti keinginan Satya...