5. Perang^

279 43 0
                                    

Harin mengunci pintu rumahnya, melangkah ke arah sofa begitu ia ingat kalau tadi meninggalkan ponselnya di sana.
Ada 15 panggilan tak terjawab dan 5 pesan, yang ketika Harin membukanya semua berasal dari nomor yang sama. Harin pastikan itu dari Artha. Semua panggilan dan pesan ini pasti datang ketika Harin datang ke rumah Alvaro.

Harin menurunkan ponselnya. Ia menatap ke sekeliling rumah yang tak menunjukkan adanya kehidupan. Ia menghela napas sebelum melangkahkan kaki ke arah tangga. Suara kakinya menggema menandakan di sini hanyalah ruang hampa.

Setan pun takut pada orang kesepian.

Harin terkekeh sendiri mengingat caption yang pernah ia lihat beberapa hari lalu itu. Ia ingin membenarkan, itu memang benar adanya.

oOo

Harin tiba di sekolah. Hari ini tak ada aksi adu mulut terlebih dahulu karena Harin memilih untuk ikut dengan Artha tanpa penolakan. Juga Artha yang hari ini agaknya tak terlalu menyebalkan sepertinya pantas diberi rewards, tak dinyolotin maksudnya.

"Nanti jemput gue nggak?"

"Iya."

"Serius nih, kayak kemarin lagi." Harin sedikit menyindir.

"Nggak, gue janji bakal jemput lo. Telepon aja."

Harin mengangguk-angguk. "Oke."
Ia membalikkan tubuh. Seperti deja vu, Harin kembali berpapasan dengan pacar Artha. Kali ini mereka saling bertatapan dalam beberapa detik. Harin merasa tatapan cewek itu sudah seperti laser yang siap membolongi kepalanya. Apa sekarang Harin harus waspada? Dilabrak, kedengarannya terlalu mencoreng wajahnya, memalukan.

"Dia siapa?"

Masih pertanyaan yang sama. Jadi Artha sama sekali belum menjelaskan? Itu memang hak Artha sih, tapi bukankah tak ada kesalah pahaman itu lebih baik? Atau justru Artha sengaja karena sebenarnya hubungan mereka tidak pada kondisi baik?

oOo

"Sibuk banget sih," ucap Harin melihat Alvaro yang pagi-pagi sudah bergelut dengan soal-soal latihan yang tak ingin Harin ketahui berapa tebalnya. Meski sering menempel dengan si Anak Olimpiade, Harin sama sekali tidak termotivasi untuk menjadi anak rajin.

Harin menyimpan tas ke bawah meja kemudian duduk di sampimg cowok itu. Ya, mereka memang sebangku, tepatnya sejak kelas 7 mereka selalu duduk berdampingan. Hal ini yang membuat Harin tak punya teman hangout seperti remaja-remaja putri lainnya.
Bahkan Harin berani bertaruh semua cewek di kelas ini membencinya. Harin juga tak menutup telinga akan panggilan 'slutty' yang disandingkan dengan namanya.

Entah karena jijik Harin duduk di kawasan laki-laki, atau karena Harin yang bisa terus berdekatan dengan Alvaro.
Tak dielakkan dari sudut mana pun rupa Alvaro ini sempurna. Banyak cewek yang terpikat, belum lagi sifat dinginnya yang membuat mereka katanya semakin tertantang.
Sayangnya Harin yang selalu menempel pada Alvaro dianggap menutup semua akses mereka. Harin dituding alasan Alvaro bahkan tak mau berbicara dengan mereka. Padahal ya ... Alvaro seperti itu.

"Lombanya 2 minggu lagi," ucap Alvaro dengan tangan yang terus berkutat. Harin pernah tertawa sampai keluar air mata ketika Alvaro menghabiskan 2 lembar HVS untuk menyelesaikan soal matematika yang jawabannya sama dengan nol. Gila kan? Sejatinya Harin memang tak akan sejalan dengan mereka yang jenius.

"Wah ... semangat bertegang-tegangan ya." Harin menepuk-nepuk bahu Alvaro. Alvaro itu hebat, ia yakin cowok itu bisa menyabet gelar juara.

Harin memilih menghadap depan. Wajahnya berubah biasa. Ia sedikit menunduk dengan telapak kaki yang mengetuk-ngetuk.

"Al, tahu nggak sekarang tanggal berapa?"

Alvaro berhenti bergerak. Sadar itu bukan pertanyaan. Harin bukan ingin mengetahui tanggal hari ini, Alvaro bahkan paham ke mana arah obrolan ini.
Alvaro menyimpan pensilnya, ia sedikit bergerak membuat posisinya kini menghadap ke arah Harin.

Skenario [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang